TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan aturan terkait dengan perusahaan finansial berbasis teknologi atau financial technologies (fintech). Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, dalam aturan tersebut, salah satu hal yang ditekankan adalah mengenai transparansi dalam fintech, khususnya untuk peer-to-peer lending.
"Aturan ini lebih detailnya diharapkan akan mampu melindungi para nasabah. Aturan terkait dengan platform ini sama di seluruh dunia, khususnya latar terkait bagaimana kita melindungi customer atau nasabah," katanya saat berpidato dalam seminar bertajuk "Mendorong Terciptanya Inklusi Keuangan Melalui Pemanfaatan Sistem Digital" di Kantor Kementerian Koordinator Keuangan, Jakarta, Rabu, 14 Februari 2018.
Wimboh mengatakan kebijakan ini diperlukan supaya tidak terjadi adanya kasus wanprestasi atau penghindaran tanggung jawab dari perusahaan fintech. Selain itu, hal ini untuk meminimalisasi penggunaan dana nasabah yang dikelola bisa tetap terjaga.
Wimboh menuturkan lembaganya juga akan meminta bank dan penyedia jasa niaga daring (online), seperti e-commerce yang memiliki hubungan yang kerja sama dengan perusahaan fintech, untuk mempublikasikan besaran komisi yang dikenakan kepada nasabah.
"Apa pun bentuknya fintech itu, mau peer to-peer-lending, mau Go-Jek, mau apa pun itu, Tokopedia, kita concern kepada customer protection, perlindungan nasabah. Ini yang akan kami coba garap," ujarnya.
Aturan tersebut direncanakan mengatur fintech secara umum. Misalnya, terkait dengan transparansi, para fintech provider harus memberi tahu mengenai tarif. Selain itu, fintech provider harus bisa memberi tahu siapa perusahaan fintech tersebut dan siapa nasabahnya.
Namun, untuk peer-to-peer lending, kata Wimboh, pihaknya memberikan aturan khusus. Dalam hal ini, perusahaan fintech perlu memberi tahu siapa para peminjam dana yang sedang dikelola.
"Transparansinya juga berbeda, misalnya, kalau pinjaman kecil berbeda dengan pinjaman besar," ucap Wimboh.