TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) perlu melakukan sosialisasi yang lebih masif kepada masyarakat tentang aturan larangan penggunaan mata uang virtual (cryptocurrency), salah satunya Bitcoin, dalam berbagai bentuk transaksi di Indonesia.
"Jangan sampai (Bitcoin) itu jadi gelembung dan pecah. Ujungnya masyarakat yang dirugikan," kata Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dalam keterangan tertulis, Rabu, 7 Februari 2018.
Dia berpendapat, risiko penggunaan mata uang virtual seperti Bitcoin tidak boleh dipandang remeh, karena sebagai aset digital, nilai fundamental Bitcoin belum bisa dievaluasi dan harga normalnya juga tidak diketahui secara pasti.
Baca juga: OJK Tegaskan RI Larang Bitcoin dan Mata Uang Virtual Lain
Dengan kata lain, lanjut Heri, nilai Bitcoin selama ini ditentukan oleh spekulasi pasar, dan masih belum jelas faktor penentu naik turunnya.
"Dalam regulasi yang ada, Bitcoin ditolak sebagai mata uang atau alat pembayaran di Indonesia. Sebab, dalam regulasi di Indonesia, tidak mengenal alat pembayaran yang sah dengan nama Bitcoin," katanya.
Untuk itu, ia menegaskan bahwa Bitcoin bermasalah secara legalitas karena tak memiliki payung hukum sama sekali sebagai alat pembayaran yang sah, serta tidak memiliki administratur resmi.
Baca juga: Nilai Bitcoin Menurun, Dijual di Bawah Level USD 7.000
Bitcoin juga tidak dapat dikatakan aset keuangan seperti saham karena tidak ada faktor "underlying asset" sehingga sangat fluktuatif dan rentan terhadap risiko penggelembungan.
"Risiko lainnya adalah potensi adanya dugaan pencucian uang, asusila, sampai terorisme, bahkan untuk perdagangan obat terlarang," tuturnya.
Bitcoin merupakan mata uang krypto atau mata uang virtual dengan pangsa pasar terbesar di dunia, yakni 33 persen atau jika dikapitalisasikan sebesar US$ 246 miliar. Secara total, menurut kajian Coinmarketcap, terdapat 1400 mata uang digital saat ini di dunia, dengan yang terbesar adalah Bitcoin dan Etherum.
ANTARA