TEMPO.CO, Jakarta - Direktur PT Bank Central Asia (Tbk) Santoso mengungkapkan ada sejumlah hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah ketika ingin mengimplementasikan kebijakan penyampaian data transaksi nasabah kartu kredit untuk keperluan perpajakan. “Ada kecenderungan nasabah mulai menutup fasilitas kartu kredit, meminta penurunan limit, dan tidak mengaktifkan kartu kreditnya,” ujarnya, kepada Tempo, Rabu 7 Februari 2018.
Namun, Santoso menuturkan wacana adanya batasan minimal atau threshold untuk menentukan data nasabah mana yang harus dilaporkan oleh perbankan dan penyelenggara kartu kredit bisa jadi menghasilkan dampak yang yang berbeda. Sebab, nasabah kartu kredit yang akan dibuka datanya hanya nasabah dengan total pembelanjaan kartu kreditnya di atas Rp 1 miliar setahun. “Mungkin akan ada sedikit perbedaan dengan ketentuan baru seperti ini.”
General Manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Martha menyampaikan kekhawatiran nasabah itu telah tercermin sejak wacana kebijakan itu muncul pertama kali pada 2016 lalu. “Waktu itu begitu diumumkan kebijakannya bulan berikutnya penutupan kartu kredit mengalami kenaikan, penggunaan kartu kredit drop sampai 12 persen,” ucapnya.
Di satu sisi, pada wacana kebijakan di 2018, Ditjen Pajak rencananya akan meminta data yang cukup detil atau tidak hanya sebatas total transaksi nasabah. “Tentu ada kekhawatiran terkait ini, pemerintah harus belajar dari pengalaman terdahulu, harus lebih halus, masyarakatnya juga diedukasi, jangan sampai ada salah paham.”
Simak: Ditjen Pajak Susun Ketentuan Intip Data Nasabah Kartu Kredit
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama berujar pihaknya telah bertemu dan berkoordinasi dengan pihak Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) dan Perhimpunan Bank-bank Internasional (Perbina) untuk membahas kebijakan tersebut. “Kami sepakat untuk membuat tim kecil yang akan membahas teknis dan mekanisme penyampaiannya nanti,” ujarnya.
Yoga menjelaskan hingga kini kedua belah pihak masih berdiskusi terkait dengan ketentuan detil data apa saja yang perlu disampaikan hingga tata cara penyampaian data. “Sehingga nanti terjamin juga semua keamanan dan kerahasiaannya.”
Yoga menuturkan perbankan dan penyelenggara kartu kredit diminta mulai melaporkan data transaksi nasabah selama Januari-Desember 2018. Adapun data tersebut paling lambat disetorkan pada akhir April 2019 mendatang. “Masih ada cukup waktu untuk kami formulasikan dengan baik, mengingat rencana penyampaian data pertama kali pada tahun depan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan kebijakan penyampaian data nasabah kartu kredit saat ini bukan lagi hal yang mendesak. Sebab, Indonesia saat ini sebenarnya sudah memiliki akses yang lebih besar lagi terhadap data Wajib Pajak (WP) yaitu melalui kebijakan pertukaran data secara otomatis untuk keperluan perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI).
“Kalau dengan AEoI ini padahal pemerintah sudah bisa melihat simpanan dan penghasilan dengan lebih efektif dan terukur, tidak perlu meraba-raba lagi melalui pola konsumsi seperti dengan data kartu kredit ini,” ujarnya. Yustinus mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam menerapkan kebijakan agar tidak menurunkan kepercayaan masyarakat.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menambahkan pemerintah juga harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya perlambatan atau penurunan kredit konsumsi jika banyak nasabah yang memilih menghentikan penggunaan kartu kreditnya.
“Momentumnya tidak tepat di saat daya beli lsu, pertumbuhan kredit 2016 dan 2017 juga kelihatan masih belum sesuai target, pertimbangkan juga ke toko ritel yang bisa terkena dampak kalau masyarakat menahan belanja,” ucapnya.