TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, mengatakan kapasitas industri manufaktur atau pengolahan memang harus terus ditingkatkan. Namun, menurut dia, manufaktur tidak akan berkembang tanpa didukung oleh sejumlah indikator penting lainnya.
"Manufaktur harus ditingkatkan karena bisa membuka lapangan kerja yang sangat besar," kata Agus usai menghadiri acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2018 di Fairmont Hotel, Jakarta, Rabu, 7 Februari 2018. "Sampai saat ini, Indonesia memang masih didominasi oleh sumber daya alam mentah, khususnya untuk ekspor."
Agus menilai setidaknya ada empat indikator yang harus dipenuhi oleh mendukung perkembangan manufaktur. Indikator pertama yaitu ketersediaan infrasruktur yang mencukupi, seperti jalan dan listrik. Indikator kedua yaitu investasi pada Sumber Daya Manusia (SDM). "Salah satunya lewat upaya peningkatan pendidikan vokasional yang juga tengah dilakukan pemerintah," ujarnya.
Simak: Sejak 2015, Indonesia Masuk 9 Besar Industri Manufaktur Dunia
Selanjutnya, kata Agus, kinerja kelembagaan juga harus diperbaiki, mulai dari kemudahaan bisnis hingga menciptakan iklim investasi yang baik. Indikator keempat, uajrnya, adalah peningkatan produktivitas dan inovasi. 'Tanpa inovasi seperti teknologi, Indonesia bisa kalah dengan negara lain yang telah lebih dulu memulai," tuturnya.
Saat ini, upaya peningkatan industri manufaktur memang telah digenjot oleh Pemerintah. Tiga sektor yang diprioritaskan pemerintah adalah industri kilang dan petrokimia, industri besi dan baja, serta industri kimia dasar. Kementerian Perindustrian sempat menyampaikan bahwa sejumlah subsektor juga yang akan menopang pertumbuhan manufaktur nasional pada 2018, untuk mencapai target target pertumbuhan industri pengolahan nonmigas tahun 2018 ditetapkan sebesar 5,67 persen.
Mantan Menteri Keuangan Indonesia era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Chatib Basri sendiri menilai manufaktur Indonesia saat ini memang belum berkontribusi besar. Terbukti dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kalah dibanding dengan negara tetangga di Asia Tenggara. "Di Kuartal III 2017, Filipina 6,9 persen, Malaysia 6,2 persen, Vietnam 7,5 persen, Indonesia hanya 5 persen," ujarnya.
Negara tetangga bisa mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik karena berbasis pada manufaktur, sedangkan Indonesia pada sumber daya alam mentah. Indonesia, kata Chatib, bisa masuk pada industri manufaktur intermediary seperti produk garmen, batik, hingga kerajinan. "Market seperti ini yang harus dimanfaatkan," ujarnya.