TEMPO.CO, Jakarta -Pengamat ekonomi Chatib Basri mengatakan pertumbuhan ekonomi harus dipaksa menjadi 6 hingga 7 persen. Sebab, angka pertumbuhan tersebut harus dicapai demi menghindari Indonesia dari risiko ageing population di tahun 2060.
"Masih ada risiko masyarakat Indonesia menjadi tua tapi tidak kaya," kata Chatib dalam sesi diskusi di acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2018 di Fairmont Hotel, Jakarta, Rabu, 7 Februari 2018. Acara yang digelar oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. dan Mandiri Sekuritas ini diikuti lebih dari 600 investor dan pelaku bisnis dari dalam dan luar negeri.
Ageing population adalah situasi ketika proporsi masyarakat berusia tua atau tak produkstif diatas 50 tahun lebih mendominasi dibanding usia lainnya. Saat ini, Indonesia mulai memasuki masa usia produktif hingga 2050 mendatang. Namun setelah itu, seiring dengan peningkatan masa harapan hidup, maka jumlah penduduk usia produktif akan lebih mendominasi.
Dalam tiga tahun terakhir, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah melebihi angka 5,1 persen. Padahal, kata bekas menteri keuangan ini, pertumbuhan 6 hingga 7 persen dibutuhkan untuk mencapai angka PDB (Pendapatan Domestik Bruto) per kapita yang mencukupi di tahun 2060.
Chatib Basri mencontohkan dua negara yang sedang masuk dalam ageing population yaitu Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara tidak merasakan risiko berarti karena telah mencapai PDB per kapita yang mencukupi. Jepang sekitar US$ 38 ribu dan Korea Selatan sekitar US$ 27 ribu.
Kondisi tersebut sangat kontras jika dibandingkan dengan PDB per kapita Indonesia yang masih sekitar US$ 4 ribu. Jika pertumbuhan Indonesia stagnan di angka 5 persen, kata Chatib Basri, maka dalam 40 tahun ke depan, PDB per kapita masih akan berada di bawah US$ 20 ribu. "Maka ini masih sangat kurang," ujarnya.
Risiko ageing population, kata Chatib Basri, bukan hanya perlambatan ekonomi. Namun lebih jauh bisa menjadi permasalahan dan ketegangan sosial. Maka untuk itu, ia menilai pemerintah perlu melakukan sejumlah inovasi kebijakan baru, tak cukup hanya pembangunan infrastruktur lewat belanja pemerintah. "Saya rasa, kita harus bisa melebihi instrumen makro yang ada," ujarnya.
Salah satu upayanya, kata Chatib Basri, adalah mengubah komposisi ekspor Indonesia yang selama ini terlalu bergantung pada produk sumber daya alam menjadi produk olahan. Untuk itu, Indonesia untuk terus menggenjot kapasitas manufaktur. "Sektor yang cocok bukan manufaktur buruh murah atau high value added, tapi ambil yang intermediary seperti garmen," ujarnya.