TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Penambang Batu Bara Indonesia (APBI) berharap agar pemerintah bisa memperhitungkan dengan matang kebijakan pengaturan harga batu bara pembangkit listrik tenaga uap.
Ketua Umum APBI Pandu Patria Sjahrir mengatakan, kebijakan tersebut perlu kepastian dan ketetapan jangka panjang untuk kepastian investasi. "Kita mau kebijakan itu long term saja. Bikin main of life-nya seperti apa, lalu ditetapkan. Lalu kita sama-sama sepakat dengan kebijakan tersebut," kata Pandu di Menara BTPN, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 6 Februari 2018.
Baca juga: Harga Batu Bara Dongkrak Beban PLN Rp 14 Triliun
Kebijakan mengatur harga batu bara muncul setelah biaya produksi PT PLN membengkak hingga Rp 14 triliun pada 2017. Meningkatnya biaya produksi tersebut akibat harga batu bara global yang terus naik hingga mencapai rata-rata US$ 80 per-ton.
Direktur Pengadaan Strategis PT PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan naiknya biaya produksi tersebut lantaran harga batu bara melesat jauh dari asumsi dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) tahun lalu sebesar US$ 63 per ton.
“Kalau tahun kemarin, memang asumsi RKAP kan US$ 63. Ketika rata-rata US$ 80 sekian, itulah yang dampak ke Rp 14 triliun,” katanya di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Senin, 5 Februari 2018.
Kenaikan harga batu bara yang signifikan berdampak pada keuangan PLN karena 60 persen pembangkit listrik PLN berbahan batu bara. Karena itulah, PLN menganjurkan agar harga batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap diatur secara khusus.
Pandu mengatakan apapun keputusan pemerintah dan kebutuhan PLN, APBI mendukung. Tapi, ia berharap jangan sampai kebijakan yang ada tidak berpihak kepada asosiasi batu bara dan tidak pasti.