TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menyinggung pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait ekspor Indonesia yang lebih rendah dibanding negara di ASEAN lainnya. Menurut dia, persoalan ekspor bukan hanya tanggung jawab Kementerian Perdagangan saja, tetapi juga kementerian dan lembaga lainnya.
"Kementerian perdagangan, anda sedikit happy ya saya bilang begitu. Karena disemprot Pak Presiden kan tidak bisa bilang bukan cuma saya saja, tapi memang anda mungkin memang harus disemprot sedikit, ya,” kata Sri Mulyani di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis, 1 Februari 2018.
Baca juga: Ketika Suara Jokowi Meninggi Persoalkan Ekspor dan Perdagangan
Menurut Sri, kinerja ekspor memang ditentukan oleh berbagai kementerian lain seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga pemerintah daerah (pemda). Semua kementerian harus bisa bersinergi sehingga bisa menghasilkan produk yang berkualitas serta bersaing dengan barang negara lain.
Sri Mulyani menilai peran pemda penting mengingat banyak biaya bisnis di Indonesia karena adanya halangan birokrasi yang berasal dari kebijakan pemda.
Pemerintah, kata Sri, sudah melakukan berbagai cara guna mengangkat pertumbuhan ekspor nasional. Namun, ia mengakui hasilnya belum terlihat optimal.
Baca juga: Kesal Volume Ekspor Tertinggal di ASEAN, Jokowi Salahkan Kemendag
"Terus terang dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia belum bisa bekerja sebagai one incorporated ekspor," kata Sri. Semua kerja keras, semua kerja sama sibuk, semuanya kerja luar biasa. Tapi, hasilnya lebih kecil dari masing-masing. "Itu artinya kita kerja keras tapi tidak mencapai tujuan. Inilah yang disebut kelemahan koordinasi dan sinergi," kata dia.
Dalam pembukaan rapat kerja Kementerian Perdagangan, Rabu, 31 Januari 2018, Jokowi menyatakan tidak puas dengan kinerja ekspor Indonesia selama ini. Nilai ekspor Indonesia pada 2017 hanya mencapai US$ 145 miliar. Tertinggal jauh dengan Thailand yang mencapai US$ 231 miliar, Malaysia US$ 184 miliar, dan Vietnam US$ 160 miliar.