TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengaku kesal karena minyak kelapa sawit Indonesia didisikriminasi oleh Parlemen Eropa. Menurut dia, ada tindakan diskriminatif baik secara tarif maupun non tarif, termasuk munculnya resolusi parlemen Eropa mengenai biodiesel energi terbarukan 2021.
Resolusi yang dikeluarkan pada 4 April 2017 itu, menyebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia menyebabkan deforestasi dan kebakaran hutan. Resolusi didasarkan pada hasil studi yang dilakukan Komisi Eropa pada 2013, yaitu produksi minyak kelapa sawit Indonesia menyumbang 6 juta ha dari 239 juta ha (2,5 persen) kerusakan hutan global.
Baca juga: Parlemen Uni Eropa Tolak Biofuel Sawit, Pemerintah RI Kecewa
"Saya agak kesal karena pertama yang saya pertanyakan soal data, sehingga akan terjadi fairness," kata Retno di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis, 1 Februari 2018.
Parlemen Uni Eropa mengesahkan proposal bertajuk Report on the Proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources dalam pemungutan suara di kantor Parlemen Eropa, Perancis, Rabu, 17 Januari 2018.
Salah satu poin proposal energi tersebut adalah menghapus dan tidak lagi menganggap produk biodisel atau bahan bakar yang berasal dari makhluk hidup dan tanaman seperti kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan.
Akibatnya, penjualan serta penggunaan produk sawit di Eropa akan semakin terbatas. Benua Biru itu selama ini menjadi importir terbesar minyak sawit Indonesia.
"Mau tidak mau kita rapatkan barisan untuk perjuangan minyak kelapa sawit, cari pasar baru untuk menambah dan memberikan batasan ekspor CPO," kata Retno.