TEMPO.CO, Jakarta -Riset Grant Thornton bertajuk "Asia Pacific Trading and Thriving" mengungkapkan bahwa level optimisme pelaku bisnis di kawasan Asia-Pasifik berada pada angka tertinggi sejak dua tahun terakhir, yakni sebesar 41 persen. Berdasarkan temuan riset, ada sejumlah faktor yang meningkatkan optimisme tersebut.
Head of Tax Grant Thornton Indonesia, Tommy David, mengatakan faktor pertama yaitu kontribusi dua kekuatan ekonomi, Jepang dan Tiongkok. "Kedua meningkatnya perdagangan antar negara kawasan, optimisme terhadap semboyan One Belt One Road pemerintah Tiongkok, serta pendanaan program infrastruktur yang semakin gencar di Asia, Timur Tengah, Eropa dan Afrika," kata dia di Tjikini Lima, Jakarta, Kamis, 1 Februari 2018.
Kendati demikian, Grant Thornton juga mengungkapkan ada tiga ancaman yang mampu mengganggu stabilitas perekonomian kawasan, yakni populasi yang menua, konflik regional terkait sengketa kawasan dan perlambatan ekonomi Cina.
"Populasi menua selama dua tahun terakhir dianggap sebagai ancaman yang paling besar," kata dia.
Untuk menghadapi populasi menua, kata dia, Grant Thornton merekomendasikan pelaku bisnis untuk mencari sumber baru untuk tenaga kerja ke depannya, termasuk mereka yang sedang mencari perubahan jenjang karir dari pekerjaan saat ini.
Selain itu, konflik sengketa kawasan berpotensi menjadi ancaman besar dikarenakan ketidakpastian cara para pemimpin negara dalam menyelesaikan perselisihan yang berpengaruh terhadap perencanaan ekonomi. Sedangkan perlambatan ekonomi Tiongkok, menjadi salah satu penyebab melambatnya ekonomi Global dari tahun lalu.
David juga mengatakan bisnis di seluruh wilayah, khususnya kawasan Asia-Pasifik bergulat debgan berbagai tantangan ekonomi, budaya dan politik. Tantangan tersebut juga sewaktu-waktu berpotensi menghalangi prospek pertumbuhan positif ekonomi di kawasan Asia-Pasifik.
"Pelaku bisnis perlu memiliki rencana cadangan terkait perjanjian dagang baik dari skala global hingga regional untuk memanfaatkan peluang secara optimal," kata dia.