TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa menganggap rencana pemerintah memasukkan harga batubara acuan (HBA) dalam komponen tarif dasar listrik tidak tepat. Sebab, HBA yang dihitung pemerintah sebagian besar berasal dari indeks batubara di pasar luar negeri.
"HBA itu disusun sebenarnya untuk menghitung pendapatan pemerintah dari royalti dan pajak. Itu instrumen referensi yang berbeda dengan penghitungan tarif energi," ujar Fabby kepada Tempo, Rabu 31 Januari 2018.
Selama ini, pemerintah menghitung HBA berdasarkan empat komponen yaitu indeks Newcastle Global Coal dan Newcastle Export Index yang berinduk di Inggris serta Platts59 yang berinduk di Singapura. Komponen lainnya adalah Indonesia Coal Index yang dihitung berdasarkan rata-rata harga batubara produsen domestik. Porsi keempat komponen itu dihitung masing-masing sebanyak 25 persen.
Komponen pasar luar negeri lebih dominan karena batubara Indonesia sebagian besar diekspor. Tahun lalu, produksi emas hitam mencapai 461 juta ton. Sementara penggunaan batubara oleh pasar domestik hanya 97 juta ton. Dari angka tersebut, penggunaan batubara untuk pembangkit listrik lokal hanya 97 juta ton.
Blunder lainnya, menurut Fabby, adalah komponen pasar luar negeri yang masuk dalam HBA sebagian besar dihitung berdasarkan transaksi batubara berkalori tinggi (high ranked coal) yang digunakan industri baja dan semen di India, Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Sementara mayoritas batubara Indonesia adalah batubara berkalori rendah. Kebanyakan batubara jenis ini dijual ke pembangkit listrik di India dan Cina.
"PLN juga tidak menggunakan batubara berkalori tinggi. Hanya batubara kalori rendah atau thermal coal," tutur Fabby.
Selain itu, Fabby mengatakan komponen batubara juga sudah masuk dalam bauran energi primer PLN. Biaya pembelian batubara untuk pembangkit
listrik PLN dan sebagian pembangkit swasta dihitung sebagai biaya bahan bakar. Tahun 2016 lalu, biaya bahan bakar PLN mencapai 40 persen atau sekitar Rp 109 triliun. Sekitar 54 persen atau Rp 59 triliun dipakai untuk menyalakan setrum dari energi fossil jenis ini. Tahun 2017 diperkirakan biaya batubara membengkak karena kenaikan HBA.