TEMPO.CO, Paris - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan potensi pengembangan infrastruktur di Indonesia begitu besar. Peran swasta, menurut dia, sangat dibutuhkan untuk membiayai proyek ini, terutama yang berkaitan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) dan Paris Agreement.
Salah satu model pembiayaan tersebut, kata Wimboh, adalah blended finance. "Ini sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur di Indonesia," katanya dalam forum Private Finance for Sustainable Development yang digelar oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) di Paris, Perancis, Senin, 29 Januari 2018.
Baca: Ketua OJK Yakin Kredit Perbankan Tumbuh 12 Persen di 2018
Blended finance adalah pembiayaan yang dihimpun masyarakat untuk dijadikan sebagai modal swasta untuk investasi jangka panjang. Saat ini, Pemerintah Indonesia memang tengah mendorong penggunaan model pembiayaan ini untuk sejumlah proyek infrastruktur. Proyek light rail transit (LRT) adalah salah satunya.
Sementara itu, sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia memang terlibat dalam implementasi SDGs atau Tujuan Pembangunan Global 2015-2030. Tak hanya itu, dalam Paris Agreement atau Persetujuan Paris, Indonesia adalah salah satu negara yang ikut meratifikasi. Maka, Indonesia pun turut berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca akibat perubahan iklim, sebagaimana yang tertuang dalam persetujuan tersebut.
Wimboh menuturkan pembiayaan untuk proyek yang terkait SDGs juga akan diarahkan melalui pasar modal. Dalam mendukung upaya ini, kata dia, OJK telah mengeluarkan regulasi yang mendorong penerbitan greenbonds di Indonesia. Regulasi ini diterbitkan OJK akhir 2017 lalu, dalam Peraturan OJK Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan.
Baca: OJK: NPL Sepanjang 2017 Turun Menjadi 2,59 Persen
Dalam mendorong pembiayaan oleh pihak swasta, Wimboh mengingatkan bahwa peran Standard Setter International tidak bisa diabaikan. Ia mengharapkan pembiayaan oleh swasta tidak terhambat, hanya karena terkendala standar-standar internasional yang ada. "Indonesia harus aktif memberikan masukan," ujarnya.