TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai kenaikan harga minyak dunia tak harus ditanggapi pemerintah dengan menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi. Sebab, tanpa kenaikan harga BBM, harga pangan sudah mulai naik pada Januari.
"Inflasi bulan ini diprediksi 0,7 sampai 0,8 persen. Kalau ada kenaikan harga BBM subsidi, itu inflasinya nanti luar biasa tinggi," ujar Bhima kepada Tempo, Minggu, 28 Januari 2018.
Baca: Tahun Politik Dorong Transaksi Perdagangan Berjangka Komoditas
Harga minyak dunia kini telah mencapai US$ 70 per barel. Jumlah tersebut melampaui asumsi pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar US$ 48 per barel. Harga minyak mentah dunia ini diproyeksikan bisa menyentuh US$ 80 per barel pada triwulan I 2018.
Menurut Bhima, pemerintah harus berupaya agar jangan sampai ada kenaikan atau penyesuaian harga BBM bersubsidi jenis Premium dan Solar. Sebab, kata dia, kenaikan harga BBM bersubsidi itu memiliki sensitivitas cukup besar terhadap inflasi dan daya beli masyarakat. "Sedangkan daya beli masyarakat sedang stagnan," katanya.
Bhima berpendapat daya beli masyarakat akan turun jika pemerintah menaikkan harga BBM. Hal itu akan menurunkan konsumsi rumah tangga, yang berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi 2018. "Pertumbuhan ekonomi bisa lebih rendah dari tahun 2017, yang cuma 5,05 persen. Berarti tahun 2018 ini bisa jadi cuma 5 persen. Itu berat sekali," tuturnya.
Menurut Bhima, saat ini, pemerintah bisa mengandalkan Pertamina untuk menanggung selisih tak menaikkan harga BBM bersubsidi. Namun hal itu berdampak pada keuangan Pertamina yang menurun serta investasi Pertamina, terutama untuk pembangunan infrastruktur migas dan eksplorasi wilayah kerja migas. "Pemerintah harus menetapkan dari sekarang berapa yang akan ditanggung Pertamina sampai akhir 2018," ujarnya.
Bhima mengatakan pemerintah dapat memberikan Pertamina kompensasi dalam menanggung selisih kenaikan harga minyak dunia. Hal itu, kata dia, dapat dilakukan dengan menaikkan penyertaan modal negara (PMN) ke Pertamina. "Opsinya tinggal pilih, investasi dikurangi atau investasi tetap dijaga dengan suntikan PMN yang lebih besar ke Pertamina," ucapnya.