TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto, mengatakan kenaikan harga minyak mentah dunia membawa keuntungan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 karena ada tambahan penerimaan dari sektor minyak dan gas. Namun pergerakan harga minyak ini dinilai akan berdampak negatif terhadap masyarakat.
"Meski APBN untung, tapi dugaan saya masyarakat akan buntung," kata Eko Listiyanto di kantornya, Jakarta, Kamis, 25 Januari 2018.
Baca: Pertamina Lifting Perdana Minyak Mentah Blok Mahakam
Eko menuturkan lonjakan harga minyak mentah akan membuat subsidi bahan bakar minyak (BBM) melonjak. Ini disebabkan langkah pemerintah yang mematok asumsi harga minyak mentah yang terlalu rendah. Asumsi pemerintah sebesar US$ 48 per barel sementara hingga akhir tahun lalu, harga minyak mentah dunia sudah berada di kisaran US$ 50 per barel.
Eko mengatakan minyak mentah tak pernah lagi berada di bawah US$ 48 sejak APBN disetujui. "Tapi di APBN kok masih US$ 48 per barel. Ini membuat APBN tidak kredibel sejak awal," kata dia.
Harga komoditas itu bahkan diproyeksi akan terus naik hingga 2019. Eko mengacu kepada data International Monetery Fund yang merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3,9 persen. Sementara pemerintah menghitung asumsi harga US$ 48 per barel dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3,2 persen.
Jika Pertamina harus menanggung selisihnya, keuntungan perusahaan pelat merah itu diperkirakan menurun. Setoran deviden Pertamina kepada pemerintah juga berkurang. Ekspansi bisnis perusahaan juga dinilai akan terganggu di tengah kebutuhan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
Pada 2017, pemerintah menetapkan asumsi harga minyak sebesar US$ 48 per barel. Namun di akhir tahun, harganya melonjak di kisaran US$ 50 per barel. Perbedaan itu menyebabkan Pertamina harus menombok Rp 2,2 triliun. Dengan lonjakan harga minyak yang terjadi sekarang, Eko menuturkan sangat mungkin Pertamina menombok hingga dua kali lipat tahun ini.
Dengan skenario tersebut, Eko menuturkan bukan berarti masyarakat aman dari dampak kenaikan harga minyak. Dia mengatakan daya beli masyarakat berpotensi menurun. Salah satunya berasal dari penyesuaian harga transportasi angkutan udara.
Penurunan daya beli akan mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi. Konsumsi rumah tangga saat ini masih menjadi penopang terbesar pertumbuhan ekonomi. Eko mengatakan, penurunan daya beli juga berpengaruh terhadap aktivitas dunia usaha. "Tidak hanya berbasis konsumen atau ritel tapi juga akan berimbas ke sektor produksi atau investasi," katanya.
Menurut Eko, opsi untuk menaikkan harga BBM subsidi masih terbuka. Namun dia pesimistis hal itu akan dilakukan mengingat tahun ini merupakan tahun politik.
Belum lagi, kenaikan BBM bisa mendorong inflasi. Pada November 2014, misalnya, kenaikan Premium sebesar 23,5 persen dan Solar 36,4 persen diikuti inflasi sebesar 3,96 persen pada periode November-Desember 2014. Angkanya lebih besar dari total inflasi 2017 sebesar 3,61 persen.
Saat inflasi naik, suku bunga simpanan dan pinjaman juga turun terkerek. Dampaknya, pertumbuhan kredit melambat, investasi turun, dan pertumbuhan ekonomi tertekan.
Dia meminta pemerintah segera mengambil pilihan. Indef menawarkan tiga opsi. Salah satunya adalah meneruskan sebagian atau keseluruhan kenaikan harga minyak global kepada konsumen. Artinya, menaikkan harga BBM.
Pilihan lainnya adalah menugaskan Pertamina menanggung selisih harga minyak dengan konsekuensi menurunnya keuntungan dan setoran deviden. Cara lain yaitu menambah penanaman modal negara (PMN) sebagai konsekuensi dari penugasan tersebut.
Eko mengatakan pemerintah bisa saja memilih salah satu opsi atau mengkombinasikannya. "Yang penting jelas. Sehingga masyarakat, dunia usaha, dan Pertamina bisa membuat perencanaan di 2018," ujarnya.