TEMPO.CO, Jakarta - Bank memilih untuk lebih selektif dalam menyalurkan kredit pasca melakukan pembersihan kredit macet sepanjang tahun lalu. Salah satu sector yang diwaspadai adalah sektor pertambangan. “Kalau kami masih alergi di pertambangan saja, kalau yang lain oke,” ujar Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja, kepada Tempo, Rabu 24 Januari 2018.
Hal itu juga sejalan dengan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) pada November 2017, di mana terdapat tiga sektor dengan tingkat rasio kredit macet (NPL) tertinggi, yaitu sektor pertambangan 7,1 persen, pergudangan, transportasi, dan telekomunikasi 4,5 persen, serta retail 4,4 persen. Jahja menuturkan pihaknya membidik sektor lain yang lebih prospektif untuk penyaluran kredit di 2018. “Sektor infrastruktur akan lumayan meningkat di samping juga pinjaman konsumen,” katanya.
Simak: Rasio Kredit 22 Bank di Atas 5 Persen
Jahja berujar sejauh ini tingkat NPL BCA berada di posisi 1,5 persen (gross), atau jauh di bawah rata-rata NPL industri yang berada di kisaran 2,8-3 persen. “Kami akan terus menjaga pada level 1,5 persen.”
Selanjutnya, Direktur Strategi Bisnis dan Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Haru Koesmahargyo menyampaikan pihaknya memilih untuk menerapkan strategi penyaluran kredit yang berfokus pada sektor alternative lainnya. “Strategi ke depan kami akan meningkatkan fokus pada kredit mikro dan UKM, di mana portofolio untuk mikro ditargetkan naik tahun ini jadi 40 persen dari sebelumnya 33 persen,” ucapnya. BRI akan menerapkan upaya-upaya yang dapat mempermudah nasabah dalam mengakses fasilitas pinjaman maupun simpanan perbankan. Hingga Desember 2017, tingkat NPL BRI berada di posisi 2,2 persen (gross), atau sedikit meningkat dari posisi 2016 sebesar 2,13 persen.
Meskipun demikian, menurut Haru pihaknya berkomitmen untuk meningkatkan rasio pencadangan atau NPL Coverage dari 161,16 persen di 2016, menjadi 182,98 persen di 2017. “Pencadangan kami sampai akhir tahun lalu Rp 29 triliun, kalau NPL Rp 14 triliun itu hamper dua kali lipatnya, jadi lebih dari cukup untuk menutupi jika NPL memburuk,” katanya. Dia berujar sepanjang tahun lalu, BRI telah melakukan write off atau penghapusan kredit bermasalah mencapai sekitar Rp 9 triliun, dengan total tingkat recovery sebesar 53 persen. Tahun ini, BRI menargetkan pemulihan kredit macet hingga 60 persen dari total NPL.
Direktur Manajemen Risiko BRI Donsuwan Simatupang menjelaskan sejumlah sektor yang berkontribusi terhadap NPL tahun lalu di antaranya ada sektor migas, transportasi perkapalan, dan properti. “Misalnya ada beberapa perusahaan migas yang belum bisa melakukan penjualan karena masih ada komponen investasi yang belum lengkap, butuh sertifikat, dan lain-lain, ini kami restrukturisasi dan berjalan baik,” ujarnya. Selanjutnya, sektor pertambangan menurut dia meskipun tak terlalu besar porsinya masih cukup membaik, walaupun volume produksi belum sepenuhnya kembali normal.
Donsuwan menuturkan untuk opsi restrukturisasi dipilih karena ada sejumlah target penjualan yang tidak tercapai, khususnya di sektor properti. “Kami berharap kan di semester dua 2017 penjualan property membaik, tapi kan belum jadi mereka bayar bunga tapi cicilan pokok nggak bisa dan kami harus restrukturisasi, karena harus realistis juga.” Dia menambahkan NPL terbesar di BRI berasal dari kontribusi kredit menengah. “Presentaenya tinggi karena segmen itu relative nggak tumbuh, karena memang sulit kejepit antara korporasi dan ritel, jadi sangat hati-hati,” ucapnya. Sektor ekonominya pun beragam, di antaranya perdagangan grosir, pertanian, dan jasa.
Ekonom Bank Mandiri Andri Asmoro mengatakan meskipun tren penurunan NPL sudah mulai terjadi tahun ini, perbankan diprediksi masih akan berhati-hati dan menggeser kredit ke sektor yang lebih aman. “Walaupun beberapa portofolio sudah bersih, masih ada special mention loan untuk yang NPL nya masih tinggi tadi, khususnya pertambangan dan perdagangan, mereka akan lebih selektif, kecuali perusahannya bagus dan domestic based masih bisa ditoleransi.” Sebagai alternative, perbankan diprediksi akan menyasar sektor infrastruktur yang tengah digenjot pemeritnah menjelang 2019 mendatang. “Bank-bank besar khususnya masih mencari yang government related project, yang udah direstrukturisasi juga tetap diwasapadai sehingga tidak loncat lagi ke kredit macet.”