TEMPO.CO, Jakarta - Video viral soal pria yang kecewa akan sikap petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mempersoalkan Standar Nasional Indonesia (SNI) mainan impor disebut-sebut hanya satu bagian kecil dari gunung es permasalahan di lapangan.
Ketua Asosiasi Mainan Indonesia (AMI), Sutiadji Lukas mengungkapkan, masalah terkait kewajiban sertifikasi SNI bagi produk mainan sangat banyak, mulai dari definisi detail soal jenis mainan hingga operasi pasar yang kerap dilakukan kepolisian terhadap produk lokal yang sudah mengantongi SNI.
Sutjiadi mencontohkan kasus pada gantungan kunci berupa boneka. Jika dijual di toko mainan, maka produk itu masuk kategori mainan. Namun jika barang serupa dijual di toko aksesoris, justru menjadi aksesoris. "Kalau aksesoris kan tidak perlu SNI, definisi ini yang harus diperjelas agar tidak menimbulkan kerancuan," ujarnya kepada Tempo saat dihubungi di Jakarta, Ahad, 21 Januari 2018.
Baca: Viral Video Pria Musnahkan Mainan Impor, Ini Penjelasan Bea Cukai
Tak cukup di situ, Sutijadi juga menyebut mainan untuk untuk usia 14 tahun ke atas, seperti action figure untuk orang dewasa sebenarnya tak perlu diwajibkan mengantongi sertifikasi SNI. Namun dalam ketentuan yang ada tidak dijelaskan jenis mainan yang bebas SNI.
Persoalan SNI bagi mainan impor mencuat setelah sebuah video viral di media sosial. Video tersebut menampilkan seorang pria bernama Faiz Ahmad di Provinsi Bengkulu yang menghancurkan mainan seharga Rp 450 ribu yang dibeli dari luar negeri.
Karena tidak mengantongi sertifikasi SNI, petugas Bea Cukai Bengkului pun tidak bisa mengeluarkan barang tersebut. Bea Cukai beralasan pemilik barang tidak dapat melengkapi persyaratan sesuai Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/M-IND/PER/11/2013 tentang SNI Mainan Secara Wajib. Alhasil, pria tersebut diduga memilih untuk menghancurkan mainannya sendiri lantaran kecewa atas keputusan tersebut.
Peraturan Menteri ini menjelaskan bahwa mainan adalah produk yang diperuntukkan bagi anak usia 14 tahun ke bawah. Jenis dari mainan yang diwajibkan mengantongi sertifikasi SNI pun juga sudah diterangkan. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut, jenis manakah yang termasuk mainan anak-anak dan mana yang bukan.
Masalah lain, kata Sutjiadi, juga muncul dari operasi yang dilakukan kepolisian terhadap barang impor maupun lokal. Sebagai pelaku usaha yang juga mengimpor mainan, Sutjiadi menyebut anggota AMI selalu mematuhi aturan SNI untuk mainan. "Daripada jadi sapi perahan polisi," tuturnya.
Namun, pihak kepolisian kerap meminta semua barang untuk memiliki sertifikasi SNI. Padahal, menurut dia semua barang sudah disesuaikan dengan ketentuan yang ada. Ia menilai tindakan ini sangat mengada-ada. "Ini sering terjadi dan biasa diurus oleh pengacara dari asosiasi," kata Sutjiadi seraya menjelaskan bahwa kasus video viral itu hanya salah satu dari masalah yang terjadi terkait simpang siurnya penerapan aturan SNI.