TEMPO.CO, Jakarta -Peneliti Ekonomi Institute for development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai dampak dari Shutdown atau penghentian sementara operasional pemerintahan di Amerika Serikat sangat kecil terhadap nilai tukar rupiah. "Dampak terjadinya shutdown secara temporer sangat minim pengaruhi nilai tukar Rupiah," ujar Bhima dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jakarta, Sabtu, 20 Januari 2018.
Menurut Bhima saat terjadi shutdown, proyeksi rupiah masih berada dalam rentang yang terkendali yaitu di kisaran Rp 13.350 sampai Rp 13.400. Hal ini, kata dia, disebabkan pada masa shutdown Dollar Amerika Serikat cenderung melemah terhadap mata uang lainnya.
Baca: Menguat 0,44 Persen, IHSG Kian Dekati Level 6.500
Bhima berpendapat terjadinya shutdown ini menyebabkan prospek pemulihan ekonomi Amerika Serikat bisa terganggu. Namun, kata dia, justru dalam posisi ini Rupiah akan diuntungkan. "IHSG pun masih tetap positif di angka 6.490-6.500, didorong oleh sentimen investor dalam negeri terhadap prospek pemulihan ekonomi Indonesia," katanya.
Bhima mengatakan peristiwa shutdown pernah terjadi pada tahun 1995-1996 dan 2013. Dia berujar saat itu kurs rupiah hampir tak terpengaruh oleh shutdown Amerika Serikat ini. "Karena sifatnya lebih temporer atau jangka pendek, kira-kira berlangsung dalam waktu 2 minggu," ucapnya.
Bhima menuturkan dalam konteks persiapan menghadapi rencana shutdown ini cadangan devisa Indonesia masih cukup untuk stabilisasi kurs. Angka terakhir pada Desember 2017 cadangan devisa berada di posisi US$ 130 miliar. "Cadangan devisa harus terus ditingkatkan nilai maupun kualitasnya sebagai jaring pengaman terhadap gejolak eksternal," tuturnya.
Rencana shutdown ini dinilai akan menurunkan prospek ekonomi Amerika Serikat. Sebab, shutdown kali ini akan berlangsung dalam jangka panjang lebih dari dua minggu. "Dengan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tercatat 3,2 persen pada triwulan ke-III 2017, atau tercepat dalam 3 tahun terakhir," ucap Bhima.
Shutdown atau penghentian sementara operasional pemerintahan di Amerika Serikat terjadi pada Jumat tengah malam, 20 Januari 2018. Shutdown tersebut diprediksi berlangsung dari minggu ke empat Januari hingga minggu kedua Februari 2018.
Shutdown merupakan konsekuensi dari adanya ketidaksepakatan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan kongres dalam penyusunan anggaran negara khususnya terkait pembiayaan. Adapun departemen yang akan terkena efek penutupan sementara antara lain adalah Departemen Perdagangan, NASA, Departemen Ketenagakerjaan, Departemen Perumahan dan Departemen Energi.