TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan sudah mengantongi komitmen pembiayaan berbunga rendah dari Bank Dunia guna proyek pembangkit listrik panas bumi. Total dana yang disediakan mencapai US$ 600 juta.
"World Bank akan membantu menambah komitmen dengan softloan. Jadi badan usaha swasta dan badan usaha milik negara silakan meminjam," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Rida Mulyana di kantornya, Rabu 17 Januari 2018.
Rida memprediksi World Bank bakal kebanjiran proposal. Sebab, bunga yang ditawarkan lembaga pendanaan internasional ini hanya mencapai 1,5 persen. Beban pinjaman jauh lebih rendah dibanding tingkat bunga yang ditawarkan perbankan lokal sekitar 10-11 persen. Bunga yang ramah investasi ini diperkirakan bakal meningkatkan keekonomian proyek panas bumi.
Dana Bank Dunia akan dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur, perusahaan pembiayaan pelat merah. Perusahaan juga dipercaya pemerintah untuk mengelola dana abadi panas bumi sekitar Rp 3,7 triliun. Rp 700 miliar di antaranya juga berasal dari hibah Bank Dunia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar mengatakan laju proyek energi bersih sedikit terhambat lantaran tingginya bunga yang ditawarkan perbankan lokal. Bunga yang tinggi membuat angka pengembalian investasi rendah, sehingga pengusaha ogah berinvestasi. Bunga ideal untuk proyek ini, menurut Arcaandra, adalah sekitar 4-5 persen.
Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah memiliki target ambisisus untuk membuat bauran energi bersih mencapai 23 persen pada tahun 2025 mendatang. Saat ini, jumlah sumbangan energi bersih di Indonesia baru mencapai angka 11,9 persen.
Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Surya Darma sebelumnya mengatakan sulitnya memperoleh pinjaman bukan satu-satunya penyebab investasi
pembangkit energi bersih seret. Persoalan lainnya adalah harga jual listriknya terlalu murah sehingga tidak mencapai keekonomian proyek. Regulasi membatasi harga jual listrik berdasarkan biaya pokok produksi pembangkitan.
Kebijakan ini, kata Riza, membuat peringkat Indonesia dalam Renewable Energy Country Atractiveness Index (RECAI) versi pemeringkat Ernst and Young turun di bawah 40. Padahal tahun 2015, Indonesia masuk dalam urutan 38.