TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perindustrian menyatakan kebutuhan crude steel (baja kasar) nasional saat ini sudah mencapai 14 juta ton, namun produksi industri baja dalam negeri masih sebanyak 8 juta ton per tahun. Namun Kemenperin terus memacu peningkatan kapasitas produksi industri baja nasional.
“Produksi industri baja dalam negeri terus dioptimalkan dan diarahkan pada pengembangan produk khusus bernilai tambah tinggi, misalnya untuk sektor otomotif, perkapalan maupun perkeretaapian. Sehingga kita tidak perlu lagi impor,” kata Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Sabtu, 13 Januari 2018.
Simak: Pertumbuhan Industri 2018 Ditargetkan Tembus 5,67 Persen
Sebelumnya, Kemenperin mendorong percepatan pembangunan klaster industri baja di tiga wilayah, yaitu Cilegon, Banten, Batulicin, Kalimantan Selatan, dan Morowali, Sulawesi Tengah.
Kemenperin berharap produksi dari tiga wilayah tersebut mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor serta mewujudkan negara mandiri dari impor baja.
Baca Juga:
Pemerintah saat ini tengah menargetkan produksi 10 juta ton baja pada tahun 2025 melalui pembangunan klaster industri baja di Cilegon, Banten.
"Dengan adanya klaster 10 juta ton yang nilai investasinya mencapai US$ 4 miliar ini, memberikan multiplier effect melalui penciptaan lapangan pekerjaan, pemenuhan bahan baku industri dalam negeri, dan memberikan manfaat terhadap perekonomian nasional khususnya Banten," ucapnya.
Selain di Cilegon, Kemenperin juga memiliki program pembangunan kawasan industri berbasis baja di Batulicin, Kalimantan Selatan. Kawasan yang berdiri di atas lahan seluas 955 hektare ini diproyeksi akan menyerap tenaga kerja sebanyak 10 ribu orang.
Saat ini sudah ada industri baja yang beroperasi, yaitu PT Meratus Jaya Iron and Steel serta dilengkapi dengan fasilitas pelabuhan ferry.
Kemenperin, kata Airlangga, telah menginisasi pembangunan Politeknik pada tahun 2018 ini, sehingga putra-putri daerah dapat berperan lebih aktif dalam membangun industri baja di kawasan tersebut. Hal tersebut dimaksudkan dalam upaya penyiapan sumber daya manusia yang siap kerja di kawasan industri Batulicin, Kalimanta Selatan.
Airlangga mengatakan setelah Batulicin, Kalimantan Selatan, proyek selanjutnya yang akan dikerjakan adalah pembangunan industri berbasis nikel dan baja tahan karat (stainless steel) di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah.
Kawasan ini memiliki lahan seluas 2.000 hektare, dengan realisasi investasi sepanjang tahun 2015-2017 sebesar Rp 80 triliun dan ditargetkan pada tahun 2019 mencapai Rp 105 triliun. Selain itu, pada periode 2015-2017, kawasan ini telah menyerap tenaga kerja sebanyak 15 ribu dan ditargetkan pada 2019 akan membuka kesempatan lebih dari 40 ribu tenaga kerja.
Ia menargetkan kawasan tersbeut akan menghasilkan 4 juta ton stainless steel per tahun, dan pabrik baja karbon berkapasitas 4 juta ton per tahun. Menurut dia, jika produksi stainless steel tercapai 4 juta ton per tahun, Indonesia akan menjadi produsen kedua terbesar di dunia atau setara produksi di Eropa.
Airlangga menjelaskan dalam meningkatkan daya saing industri baja nasional, Kemenperin telah menjalankan berbagai program strategis, antara lain memfasilitasi kerja sama investor asing dengan mitra dalam negeri, promosi investasi, pendampingan perolehan insentif bagi industri baja, dan perumusan regulasi yang mendukung industri baja.
Selain itu Kemenperin juga akan memfasilitasi pembentukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Baja, penerapan kebijakan penggunaan produk dalam negeri di proyek-proyek pemerintah maupun swasta, melakukan perbaikan dan harmonisasi regulasi untuk menjamin kepastian industri baja nasional agar dapat tumbuh dan berkembang, serta mengusulkan harga gas yang kompetitif untuk industri baja nasional.