TEMPO.CO, Jakarta -Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mempertimbangkan Bitcoin masuk di bursa komoditi berjangka. Institusi tersebut tengah mengerjakan kajiannya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai Bappebti perlu menyamakan perspektif mengenai regulasi Bitcoin dengan Bank Indonesia terlebih dulu. Pasalnya, bank sentral dengan tegas melarang penggunaan uang virtual tersebut.
Bhima mengatakan Bitcoin baru bisa diperdagangkan di bursa berjangka di Amerika jika aturannya sudah tersedia. "Kalau underlying assetnya ilegal, konsekuensi hukum kontrak asetnya juga akan ilegal," kata dia saat dihubungi Tempo, Sabtu, 13 Januari 2018.
Bappebti menyatakan tengah melakukan kajian untuk menjadikan Bitcoin sebagai salah satu komiditi yang diperdagangkan. Kajian mengenai mekanisme hingga dampaknya ditargetkan selesai sebelum Juli mendatang.
Namun Bank Indonesia baru saja menerbitkan keterangan tertulis mengenai larangan penggunaan Bitcoin. Dalam keterangan tersebut, bank sentral menegaskan kembali risiko transaksi Bitcoin.
"Pemilikian virtual currency sangat berisiko dan sarat akan spekulasi," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman, seperti dilansir keterangan tertulis, Sabtu, 13 Januari 2018. Mata uang tersebut tidak memiliki otoritas yang bertanggung jawab, tidak memiliki administrator resmi, dan tidak ada underlying asset yang mendasari harga mata uangnya.
Nilai perdagangan Bitcoin juga sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble). Mata uang virtual itu juga rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Bank Indonesia menilai semua risiko tersebut dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat. "Oleh karena itu, Bank Indonesai memperingatkan kepada seluruh pihak agar tidak menjual, membeli, atau memperdagangkan virtual currency," ujar Agusman.
Sebagai otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran. Hal itu dimulai dari prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, hingga penyelenggara transfer dana. Bank Indoneisa juga melarang penyelenggara teknologi finansial di Indonesia baik bank dan lembaga selain bank untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency.
Agusman menuturkan keputusan itu sudah dibuat sejak dua tahun lalu. Aturannya tertera dalam Peraturan Bank Indonesia 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.