TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengklaim bahwa program gerakan non tunai, khususnya penggunaan uang elektronik (e-money) bisa mengurangi peredaran uang logam. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Peredaran BI, Suhaedi mengatakan bahwa pengurangan tersebut bisa capai hingga 20 persen.
"Ini paling banyak terjadi di Jawa seperti DKI Jakarta. Banyak diantaranya disumbang dari sektor transportasi dan pertokoan atau ritel," kata Suhaedi di Kantor BI, Jakarta Pusat pada Jumat, 5 Januari 2017.
Simak: 2018, BI Gencarkan Transaksi Nontunai Hingga ke Desa
Menurut data BI hingga November 2017, peredaran uang logam di Indonesia mencapai angka Rp. 8,4 triliun. Maka jika dikurangi sekitar 20 persen seperti pernyataan Suhaedi, maka selisih uang logam tersebut bisa mencapai hingga Rp. 1,65 triliun.
Menurut Suhaedi, hal ini terjadi karena penggunaan uang elektronik dinilai lebih efisien dan praktis. Suhaedi mencontohkan hal itu bisa dilihat dari langkanya uang Rp. 500 dan Rp. 1000 dalam terutama dalam sektor transportasi.
Sementara itu, Suhaedi juga mengatakan bahwa uang kartal yang beredar di masyarakat pada 2017 mengalami peningkatan hingga 13,4 persen dibanding tahun 2016. Dalam hal ini, jumlah uang kartal yang beredar mencapai 694,8 triliun pada 2017 dari 612,6 triliun pada 2016.
"Hasil dari catatan kami, jumlah tersebut adalah yang tertinggi dalam jangka waktu 3 tahun terakhir," kata Suhaedi.
Dari data yang berhasil di kumpulkan oleh BI, bertambahnya jumlah uang kartal yang beredar tersebut sesuai dengan data semakin membaiknya perkonomian Indonesia. BI mencatat bahwa permintaan terhadap uang kartal selama 5 tahun meningkat rata-rata hingga 10 persen.
Kemudian Suhaedi juga mengatakan bahwa selama 2017 ada BI melalui Perum Peruri telah mencetak sebanyak 11,026 milyar bilyet uang kartal. Sedangkan untuk uang logam, Peruri telah mencetak sebanyak 2,29 milyar keping.
"Karena itu persedian uang cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh provinsi dan kabupaten di Indonesia," katanya.