TEMPO.CO, Jakarta – Pelaksana tugas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Fadli Zon, menyoroti persoalan rasio utang yang menurut pemerintah masih berada di dalam tahap aman. Fadli Zon menilai agresivitas dalam berutang perlu diredam.
"Belajar dari krisis utang Eropa, rasio utang sebenarnya bukan merupakan indikator yang pas untuk mengukur kemampuan sebenarnya dari perekonomian sebuah negara. Rasio utang kita yang lebih kecil tak menggambarkan perekonomian yang lebih hebat atau sejenisnya, sehingga kita harus berhati-hati," kata Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis, 4 Januari 2018.
Baca juga: Luhut Klaim Utang Pemerintah RI Lebih Kecil dari Malaysia
Menurut politikus Gerindra tersebut, setelah membaca laporan kinerja pemerintah pada 2017, ditemukan bahwa agresivitas pemerintah dalam berutang harus dikontrol.
Dia menjabarkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pemerintah Presiden Joko Widodo hanya sekitar 5 persen, tapi pertumbuhan utangnya mencapai 13-14 persen per tahun.
Berdasarkan laporan pemerintah, dia melanjutkan, realisasi defisit 2017 tercatat Rp 345,8 triliun. Secara nominal, realisasi defisit tersebut memang lebih rendah ketimbang realisasi defisit 2016, yang mencapai Rp 367,7 triliun.
"Meskipun secara nominal jumlahnya turun, persentasenya terhadap PDB justru meningkat. Tahun 2016, rasio defisit APBNP terhadap PDB mencapai 2,46 persen. Tahun 2017, angkanya naik menjadi 2,57 persen terhadap PDB," ucap Fadli.
Fadli Zon mengingatkan agar pemerintah tidak menutup defisit dengan menciptakan utang baru, dan jangan sampai menggampangkan permasalahan utang tersebut.
Jumlah cadangan devisa menurun US$ 580 juta pada akhir November 2017 menjadi US$ 125,97 miliar dari US$ 126,55 miliar karena pembayaran utang luar negeri pemerintah, dan penggunaan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman mengatakan jumlah tersebut cukup untuk membiayai 8,4 bulan impor atau, 8,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.