TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan atau OJK Regional Bali dan Nusa Tenggara mengantisipasi apabila terjadi kenaikan jumlah kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) dari debitur yang usahanya terganggu karena terkena dampak erupsi Gunung Agung. Antisipasi itu di antaranya dengan membantu permodalan para pelaku usaha agar tetap bisa berproduksi.
"Nanti akan kami bantu untuk kredit usaha rakyat (KUR) jika dia (debitur) butuh tambahan modal, karena yang paling utama setelah kena dampak untuk menjalankan usaha kembali adalah modal," Kepala OJK Regional Bali dan Nusa Tenggara Hizbullah di Denpasar, Ahad, 24 Desember 2017.
Baca: OJK: Semakin Banyak Fintech Semakin Baik
Menurut Hizbullah, OJK bersama pemerintah daerah dan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) berencana akan membentuk tim kecil awal 2018 untuk memetakan dampak NPL kepada debitur. "Termasuk mengkaji bantuan modal lewat KUR itu," tuturnya.
Hizbullah menjelaskan, apabila erupsi berlanjut maka dikhawatirkan dapat memberikan dampak terhadap sektor pariwisata yang lebih luas termasuk sektor penunjang seperti UMKM, transportasi, hotel, dan restoran.
Deputi Direktur Manajemen Strategis, Edukasi Perlindungan Konsumen, dan Kemitraan Pemerintah Daerah OJK Regional Bali dan Nusa Tenggara Yones menambahkan, ada 24 bank perkreditan rakyat (BPR) dan 11 bank umum yang terkena imbas tidak langsung dari erupsi Gunung Agung.
Dari analisis dan evaluasi sementara, ada empat BPR yang terkena dampak langsung karena berada di wilayah rawan bencana. Empat BPR itu, yakni BPR Sandi Raya Utama, Mitra Bali Artha Mandiri, Danamaster Dewata, dan Nusamba Manggis.
Yones menyebutkan, saat ini pihaknya menunggu keputusan OJK Pusat untuk pemberian keringanan berupa kelonggaran dalam hal membayar cicilan dan kewajiban pembayaran bunga dari debitur kepada bank. Di sisi lain, pemberian keringanan kepada debitur itu juga berpotensi mengurangi likuiditas perbankan.
OJK mencatat selama periode Januari-Oktober 2017, angka kredit bermasalah atau NPL seluruh perbankan di Bali mencapai 3,77 persen. Angka itu masih di bawah batas maksimal sebesar 5 persen.
OJK juga mencatat realisasi kredit mencapai Rp 81,5 triliun dengan porsi 38,5 persen untuk sektor bukan lapangan usaha dan 31,5 persen sektor perdagangan besar dan eceran. Berdasarkan jenis penggunaan, penyaluran kredit sebagian besar pada sektor produktif sebesar 61,5 persen, yang meliputi kredit modal kerja 39 persen dan kredit investasi 22 persen.
ANTARA