TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai utang luar negeri Indonesia per Oktober 2017 sebesar US$ 341,5 miliar masih kurang produktif. Menurut Bhima, salah satu indikasinya adalah pertumbuhan utang luar negeri sektor publik tumbuh lebih tinggi dibanding sektor swasta.
“ULN (utang luar negeri) swasta tumbuh stagnan 1,3 persen (year-on-year/yoy). Ini menandakan sektor swasta belum berniat melakukan ekspansi atau menambah kapasitas produksi,” katanya melalui pesan pendek kepada Tempo di Jakarta, Sabtu, 16 Desember 2017.
Simak: Indef: 39 Persen Utang Indonesia Dikuasai Asing
ULN sektor publik justru tumbuh hingga 8,4 persen (yoy). Kondisi ini, kata Bhima, menandakan pemerintah kian agresif menambah utang guna menutupi defisit anggaran sekitar 2,7 persen dari pendapatan domestik bruto 2017.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyatakan utang Indonesia per Oktober 2017 tumbuh sekitar 4,8 persen (yoy). BI juga menyatakan proporsi utang jangka panjang masih mendominasi, yakni sekitar 86,3 persen dan tumbuh 3,9 persen (yoy). Sedangkan utang jangka pendek memiliki proporsi lebih kecil, yaitu 13,7 persen, tapi tumbuh lebih cepat hingga 10,6 persen.
Indikasi selanjutnya, menurut Bhima, adalah pertumbuhan utang jangka pendek yang lebih cepat. “Resiko mismatch akan mengganggu likuiditas swasta ataupun sektor publik dalam membayar utang yang jatuh tempo,” ujarnya.
Selain itu, utang swasta yang tumbuh stagnan juga dinilai belum produktif. Sebab, 77 persen utang swasta terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, serta listrik, gas, dan air bersih. “Sementara untuk industri manufaktur masih tumbuh di bawah ekspektasi,” tuturnya.
Bhima mengatakan peningkatan rasio pembayaran utang atau debt to service ratio (DSR) terhadap kinerja ekspor juga turut berkontribusi pada kurang produktifnya utang luar negeri Indonesia.
Menurut dia, angka DSR Tier 1 per kuartal III 2017 yang mencapai 23,39 persen membuktikan utang Indonesia tidak berkorelasi positif terhadap sektor produktif, seperti ekspor. “Padahal lima tahun lalu DSR masih di angka 17,28 persen,” ucapnya.