TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan tidak terlalu percaya terhadap siklus krisis 10 tahunan. Menurut Bambang, kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih solid dan kuat dibanding ketika terjadi krisis ekonomi pada 1998 ataupun 2008.
"Saya, sih, lihat kalau itu enggak ada siklus-siklusan. Kalau lihat sekarang ini dengan kejadian 1998 dan 2008, orang sudah banyak belajar, ya. Semua orang lebih hati-hati," katanya kepada Tempo di gedung Balai Senat Universitas Indonesia, Depok, Rabu, 13 Desember 2017.
Baca juga: Faisal Basri: Desember Krisis Ekonomi Kecil, Jangan Ugal-ugalan
Sebelumnya, banyak pihak yang menilai 2018 adalah tahun yang penuh kewaspadaan, terutama terkait dengan perekonomian. Banyak yang percaya ada siklus krisis ekonomi yang berulang setiap 10 tahun, yang dimulai pada 1998 dan kemudian 2008. Tahun depan dikhawatirkan krisis tersebut juga akan terulang kembali.
Menurut Bambang, yang disebut krisis itu sebenarnya terjadi resesi ekonomi, yang kemudian bisa berujung krisis keuangan. Dalam hal ini, krisis tersebut bisa dilihat dari dua indikator.
Pertama, menurunnya tingkat pertumbuhan produksi domestik bruto atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama lebih-kurang satu tahun. Selain itu, indikator tersebut bisa dilihat dari melemahnya kurs rupiah terhadap dolar, termasuk anjloknya pasar saham di Indonesia.
Namun Bambang optimistis hal itu tidak akan terjadi. Selain karena ekonomi Indonesia yang diperkirakan tumbuh 5,2 persen pada 2018, saat ini banyak orang telah belajar dan berhati-hati jika berhadapan dengan sektor keuangan.
"Dengan kejadian 1998 dan 2008, semua orang lebih hati-hati dengan sektor keuangan. Mudah-mudahan pengalaman itu membuat orang lebih berjaga-jaga," kata Bambang Brodjonegoro.
Adapun guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Irwan Adi Ekaputra, mengatakan tidak menampik bahwa secara historis krisis 10 tahunan tersebut memang terjadi. Namun, menurut dia, krisis tersebut juga terjadi karena instrumen derivatif untuk melakukan pembayaran dalam sektor finansial sangat banyak.
"Yang perlu dicermati, krisis tersebut salah satunya instrumen derivatifnya di luar negeri itu banyak sekali, sedangkan di Indonesia instrumen derivatifnya tidak banyak. Kita harus bersyukur," ujarnya.
Namun Irwan mengingatkan posisi ekonomi dan kondisi keuangan global tetap berpengaruh terhadap ekonomi domestik. Karena itu, pelaku pasar, pengusaha masyarakat, termasuk pemerintah, harus tetap waspada.