TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengeluhkan tingginya tingkat bunga dari perbankan lokal untuk pembiayaan di sektor energi baru terbarukan (EBT). Menurut dia, tingkat bunga yang mencapai 10 hingga 11 persen telah menghambat pengembangan energi terbarukan yang tengah di kejar pemerintah.
"Apakah ada yang mau membiayai hingga Rp 1 miliar, tadi tak ada jaminan uang kembali? Ini yang masih membuat perbankan ragu, Rp 100 juta pun banyak yang gak mau," kata Arcandra dalam acara Indonesianisme Summit 2017 di Jakarta, Sabtu, 9 Desember 2017.
Baca: Indonesia Kerja Sama Program Energi dengan IEA
Dengan rate of returns sekitar 14 persen, kata Arcandra, para pengusaha EBT pun akhirnya menjadi tidak berminat dengan selisih yang hanya sekitar 3 persen tersebut. Menurut dia, Indonesia tetap membutuhkan tingkat bunga yang hanya sekitar 4 sampai 5 persen.
Pengembangan energi terbarukan oleh pemerintah memang masih menemui berbagai kendala. Melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah memiliki target ambisisus untuk membuat bauran EBT mencapai 23 persen pada tahun 2025 mendatang. Saat ini, jumlah bauran EBT di Indonesia baru mencapai angka 11,9 persen.
Maka untuk menyiasati kendala ini, Peraturan Menteri ESDM No. 12/2017 tentang Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik telah diterbitkan. Salah satu usaha Kementerian ESDM melalui aturan ini yaitu mengupayakan mencari pembiayaan dari luar negeri dengan bunga yang lebih rendah.
Arcandra juga mengaku telah beberapa kali mengadakan pembicaraan dengan Bank Dunia dan para pemberi pinjaman di luar negeri. "Sementara untuk perbankan lokal ya masih 11 persen. Bukan karena gak mau menurunkan, tapi memang di Indonesia aturan interest rate (suka bunga) nya (untuk sektor energi baru terbarukan), memang segitu," ujarnya.