TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai yang masih menjadi persoalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah banyaknya daerah yang belum memenuhi belanja mandatori atau yang diharuskan undang-undang. Belum semua daerah memenuhi kewajiban penyediaan anggaran pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sesuai dengan undang-undang.
“UUD mengharuskan membelanjakan 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan,” kata Sri Mulyani di Hotel Merlynn, Jakarta Pusat, pada Jumat, 1 Desember 2017. Namun masih ada 142 daerah yang belum memenuhi ketentuan tersebut.
Begitu juga belanja kesehatan. Seharusnya anggaran disisihkan 10 persen untuk belanja kesehatan. Tapi masih ada 180 daerah yang belum memenuhi. “Sedangkan untuk belanja infrastruktur 25 persen dan 302 daerah belum memenuhi itu,” ucap Sri Mulyani.
Menurut dia, ini menggambarkan bahwa kepatuhan terhadap undang-undang di daerah belum terjadi. Sri Mulyani meyakini hal tersebut terjadi karena hasil interaksi yang tidak maksimal antara eksekutif dan legislatif di daerah.
Sedangkan dari sisi standar biaya, sebagian besar daerah belum memiliki peraturan daerah tentang standar biaya masukan (SBM) dan standar biaya keluaran (SBK) yang sama. Bahkan dari observasi yang dilakukan Kementerian Keuangan, daerah bisa membuat anggaran biaya dan program dengan perhitungan lebih mahal dibanding standar biaya nasional.
“SBM dan SBK daerah lebih tinggi. Misalnya honorarium lebih tinggi 16-30 persen dibanding honorarium yang diterima pegawai pusat,” ucap Sri Mulyani.
Tak hanya honorarium, satuan biaya untuk perjalanan dinas pun dirasa lebih mahal 11-62 persen dan komponen uang harian lebih tinggi 50 persen daripada pusat. Bahkan biaya rapat dan konsinyering bisa mencapai 23-68 persen dari biaya pusat. “Ini menggambarkan bahwa APBD yang jumlahnya terbatas dan bergantung pada pusat tampaknya hanya habis dipakai para birokrat di daerah,” tutur Sri Mulyani.