TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) tengah menggarap aplikasi Online Travel Agent (OTA) yang nantinya bisa digunakan oleh perusahaan hotel dan restoran, baik anggota maupun non anggota. "Sedang kita buat, pertama hotel dan restoran," kata Wakil Ketua Badan Pengurus Pusat PHRI Rainier Daulay di Hotel Ibis Harmoni, jakarta, Rabu, 29 November 2017.
Rainier mengatakan aplikasi itu ditargetkan rampung dan bisa diluncurkan sebelum pergantian tahun nanti. Saat ini, kata dia, sebenarnya aplikasi itu sudah hampir rampung. "Kalau boleh dibocorin sih tinggal memberi nama. Tentu harus pilih yang earcatching."
Simak: Pengusaha Hotel Merasa Terancam, Minta Airbnb Dibekukan
Dengan adanya aplikasi buatan sndiri, kata Rainier, perhimpunan diharapkan bisa memberikan manfaat lebih bagi anggotanya lantaran bisa lebih bersaing ketimbang menggunakan perusahaan OTA asing. Adapun penawaran yang menurut dia bakal menarik bagi anggotanya adalah biaya komisi yang lebih kecil.
"Biaya komisi untuk anggota tentu bakal lebih kecil daripada yang non-anggota," kata dia. Dia bilang, biaya komisi untuk anggota maksimal sebesar 15 persen. Saat ini, menurut Rainier, biaya komisi yang dikenakan beberapa perusahaan OTA yang ada adalah di kisaran 15 persen sampai 30 persen. Sementara untuk Airbnb besarannya sekitar 3 - 5 persen.
Untuk membuat aplikasi itu, Reinier berujar perhimpunannya menggandeng perusahaan lokal. Kendati demikian, dia belum mau membeberkan perusahaan apa yang dia maksud. "Yang pasti kami membangun aplikasi ini bersama-sama."
Pembuatan aplikasi itu, kata dia, adalah salah satu upaya perhimpunan memberi manfaat kepada anggotanya. Menurut dia, masuknya teknologi dalam dunia industri pariwisata adalah keniscayaan. Sehingga,mau tidak mau, para pengusaha pariwisata juga mesti paham mengenai hal ini, di samping terus mengembangkan servis mereka.
Destinasi wisata Rajaampat, kata dia, adalah contoh dampak dari dunia online dalam industri pariwisata. Kata dia, awalnya tidak banyak orang yang mengantisipasi lokasi itu sebagai tempat pariwisata. namun, seiring dengan terbukanya informasi, orang jadi semakin banyak tahu.
Menurut Rainier, salah satu dampak positif dari kehadiran teknologi adalah berkurangnya biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk melakukan pemasaran. "Kalau dulu misalnya butuh 7 - 8 orang, mungkin sekarang dua orang cukup," kata dia. Teknologi juga memberikan kemudahan bagi para konsumen untuk bisa mengakses hotel maupun kebutuhan pariwisata yang mereka inginkan.
Hanya saja, kata dia, dampak negatif bakal mendera para pelaku pariwisata. "Yang terasa adalah pengusaha travel," tuturnya. Sebabnya, generasi milenial kini lebih mudah mendapatkan informasi mengenai pariwisata. Sehingga, mereka bisa mengurus sendiri kebutuhan liburannya, tanpa perlu menggunakan perusahaan travel.
Persaingan ketat juga terasa di sektor penginapan. Hadirnya perusahaan-perusahaan pariwisata berbasis teknologi, misalnya Airbnb, kata Rainier, membuat bisnis penginapan semakin sesak.
Dampaknya, para pengusaha seperti PHRI akhirnya harus melakukan perang harga. "Dampaknya lebih dirasakan hotel bintang 3 ke bawah, karena dengan fasilitas yang sama, namun harganya bisa separuhnya," ujarnya. Sementara hotel kelas atas, kata dia, tidak terlalu terganggu, lantaran masih banyak turis yang memilih kualitras ketimbang harga.