TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dinilai tak akan kesulitan menelisik data kekayaan wajib pajak pengacara Setya Novanto (Setnov), Fredrich Yunadi. "Seharusnya tidak sulit," ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo kepada Tempo, Selasa, 28 November 2017. Terlebih Ditjen Pajak memang memiliki kewenangan tersebut.
Prastowo menanggapi Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan pernyataan pengacara Setnov, Fredrich Yunadi, bisa segera ditindaklanjuti petugas pajak. Namun Sri Mulyani memastikan jalannya pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap Fredrich tak akan diungkap ke publik karena menyangkut kerahasiaan wajib pajak.
Baca: Sri Mulyani Senang Pengacara Setnov Pamer Kemewahan
Dalam wawancara dengan Najwa Shihab yang diunggah ke YouTube, Fredrich mengaku senang bergaya hidup mewah selama ini. Dalam wawancara tersebut Fredrich mengaku terbiasa menghabiskan uang miliaran saat melancong ke luar negeri.
"Saya suka mewah. Saya kalau ke luar negeri, sekali pergi itu minimum saya spend Rp 3 M, Rp 5 M. Yang sekarang, tas Hermes yang harganya Rp 1 M juga saya beli. Saya suka kemewahan," tutur Fredrich dalam wawancara dengan Najwa pada Jumat pekan lalu, 24 November 2017.
Lebih jauh, Prastowo menilai, jika wajib pajak tidak mau memberi data ke otoritas yang bersangkutan, besar pajak yang harus dibayarkan akan ditetapkan secara jabatan sesuai dengan data. Hal ini didasari Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang mengatur kewajiban pemberian data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak. Kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 35 dan 35A KUP.
Pelaksanaan ketentuan tentang kewajiban pemberian data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak ini digunakan semata-mata untuk kepentingan penerimaan negara. "Jika tidak memberikan data, itu pidana perpajakan. Bisa disidik dan dituntut pidana," kata Prastowo. Aturan tentang pidana tersebut termaktub dalam Undang-Undang Perpajakan Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 39A.