TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebutkan pihaknya masih merundingkan pembuatan regulasi mengenai ojek online. Belum jelasnya peraturan tersebut sempat memicu unjuk rasa pengemudi ojek online dari berbagai aplikasi.
"Kami bikin undang-undangnya dulu, kami inventerisasi dulu mengenai UU-nya," ujar Budi saat ditanyai di kompleks Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, Sabtu, 25 November 2017.
Baca: Ribuan Pengemudi Ojek Online Berdemo, Apa Saja Tuntutan Mereka?
Budi tak ingin berspekulasi mengenai kemungkinan adanya unjuk rasa susulan dari pengemudi ojek online. Para pengunjuk rasa yang menggelar demonstrasi di kawasan kantor Kementerian Perhubungan, Kamis lalu, bahkan memberi tenggat sebulan kepada pemerintah untuk memberi kepastian. "Jangan ngomongin potensi (unjuk rasa) dulu lah, kita ngomongin kebersamaan dulu ya," ujar mantan Direktur Utama PT Angkasa Pura II itu.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiadi menyatakan rumitnya merevisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan agar bisa mengakomodasi aturan terkait dengan ojek online. "Untuk membangun regulasi tidak mudah, butuh waktu," ujarnya.
Budi menyebutkan pihaknya sedang menghimpun pendapat dari beberapa pemangku kepentingan seperti stakeholder dan akademikus. Namun dia tak bisa memastikan kapan persisnya regulasi mengenai ojek online bisa selesai dibuat. "Jangan ditanya kapan, butuh waktu lama. Bikin UU aja tahunan (durasinya)."
Sebelumnya, diberitakan bahwa ribuan pengemudi ojek online menggelar aksi massa di depan Kementerian Perhubungan dan Istana Merdeka pada Kamis lalu. Mereka menyuarakan aspirasi dan keluhan para pengemudi ojek online, yang kerap merasa dirugikan akibat kebijakan perusahaan.
Menurut Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan, yang juga salah satu orator, pengemudi ojek online ingin diakui dan dilindungi haknya seperti yang pemerintah lakukan terhadap taksi online, yang diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 108 Tahun 2017.
Pemerintah, kata Azas, juga diminta merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Dalam Undang-undang itu, belum ada pasal yang mengatur mengenai sistem transportasi berbasis aplikasi atau teknologi.