TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan telah mengundang pelaku Perusahaan penyedia layanan dan konten pendidikan berbasis teknologi, Ruang Guru, ke kantornya. Tujuannya, dia ingin mengetahui sistem yang diterapkan perusahaan digital itu untuk memantau guru-guru yang bergabung dengan mereka. Ruang Guru sendiri merupakan platform semacam bimbingan belajar yang berbasiskan aplikasi digital.
Menurut Sri, di era digital ini sudah saatnya pemerintah bisa memantau kualitas guru yang mengajar di kelas-kelas. "Kalau semua kelas bisa ditrack, kita bisa minta akuntabilitas guru. Misalnya, kalau ada yang kurang baik atau kurang kompeten," kata dia di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu, 22 November 2017.
Pasalnya, dana yang digelontorkan untuk pendidikan, kata dia, cukup fantastis namun hasilnya masih kurang maksimal. Guru di Indonesia bisa mencapai empat juta. Sebagai informasi, Sri menyebut alokasi belanja pendidikan negara sekarang mencapai Rp 440 triliun.
"Kalau ditambah kesehatan dan social safety net, bisa mencapai Rp 600 triliun. Itu lebih besar dari belanja infrastruktur yang sebesar Rp 410 triliun. Tapi orang banyak yang fokusnya hanya ke infrastruktur saja."
Baca: Sri Mulyani: Anggaran Pendidikan RI-Vietnam Sama, Hasilnya Beda
Dia lantas membandingkan kualitas pendidikan Indonesia dengan Vietnam yang juga berkomitmen mengalokasikan belanja pendidikan sebesar 20 persen. "Ranking Vietnam di grading matematik dan sains itu peringkat 8 terbaik di dunia, sementara Indonesia hanya peringkat 53. Spendingnya sama, tapi hasilnya sangat berbeda," kata dia.
Hasil tersebut, kata Sri Mulyani, membuktikan bahwa dalam edukasi, uang bukan segalanya. Dia mengatakan, lembaga pengamat perekonomian seperti INDEF sudah saatnya menyuarakan bahwa pendidikan bukan soal berapa besar dana yang dialokasikan, namun bagaiman membuat uang menjadi alat transformasi agar masyarakat semakin cerdas dan sehat.
Sri mengatakan alokasi 20 persen itu adalah amanat reformasi. Pada era reformasi, kata dia, banyak pengamat ekonomi, termasuk dirinya, yang menganggap kegagalan Indonesia hingga akhirnya terjerembab krisis adalah lantaran minimnya anggaran pendidikan. "Namun sudah lebih 10 tahun kita mandatkan 20 persen itu, harusnya ekonom muda sekarang pertanyakan kenapa masyarakat kita belum menikmati itu," kata dia.
Dia selanjutnya mendorong para ekonom muda untuk juga mengerti politik ketimbang hanya melihat soal uang. Politik yang dia maksud adalah politik mengenai anggaran, politik mengenai pemerintah dengan legislatif, politik di daerah, sampai politik anggaran di daerah.
Tantangan yang ada sekarang, kata Sri, bukan cuma komitmen anggaran, melainkan kemampuan Indonesia berorganisasi dengan baik dan membuat sistem yang baik sehingga bisa melihat akuntabilitas sampai level bawah, misalnya kepala sekolah dan guru, bukan lagi hanya presiden dan menterinya. "Berdasarkan survey, sekarang anak-anak semua bisa sekolah, namun apakah di sekolah mereka belajar atau tidak itu masalahnya."
Sri Mulyani juga meminta agar semua pihak melibatkan generasi milenial dalam menghadapi situasi ini. "Milenial harus dilibatkan dengan bicara soal kesehatan dan pendidikan, serta diajak mengawasi program yang sebenarnya penting untuk mereka. Kalau enggak, nanti mereka bisa jadi the worst millenial in the world," tuturnya.