TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perbankan harus siap bertransformasi di era teknologi. Sebab, selain mulai merebaknya teknologi yang mengubah pola perekonomian masyarakat, secara demografi masyarakat lebih banyak diisi golongan usia muda yang mengenal teknologi.
Perkara masuknya teknologi dalam perekonomian, kata dia, telah menjadi perbincangan bank sentral dan menteri keuangan di seluruh dunia. Termasuk ihwal masuknya bitcoin dan fintech, seperti peer-to-peer lending dan crowdsourcing, yang kini mulai merebak. "Nanti barangkali tidak perlu bank lagi," kata Sri Mulyani di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu, 22 November 2017.
Sri Mulyani menceritakan fenomena universitas di Amerika Serikat yang mulai tutup satu per satu lantaran masyarakat memilih menikmati pengajaran melalui kursus online yang bisa menghadirkan pengajar-pengajar dari universitas terkemuka, seperti Universitas Berkeley, Harvard, dan Cornell. Masyarakat bisa menikmati itu tanpa perlu keluar rumah. "Jadi banyak prediksi bahwa banyak universitas yang akan tutup. Kalau pendidikan diprediksi seperti itu, bank juga harus lihat tren seperti itu," katanya.
Berdasarkan hasil riset Price Water Cooper (PWC), Sri Mulyani berujar pertumbuhan teknologi perbankan dinilai cukup bagus. Sebanyak 70 persen perusahaan perbankan menyatakan penerapan teknologi perbankan penting. Bahkan sebagian besar menyatakan tengah menyiapkan strategi berinvestasi di bidang teknologi perbankan.
Sayangnya, dari responden yang ditanya, kata Sri Mulyani, hanya 35 persen lembaga yang memiliki strategi jelas di bidang teknologi. "Jadi saya khawatir mereka tidak tahu berinvestasi apa. Mereka harus paham apa yang mau diinvestasikan."
Direktur PT Bank Central Asia Tbk Suwignyo Budiman mengatakan yang harus diubah dari perbankan era kini bukan hanya alatnya, melainkan juga road map perusahaan ke depannya mesti disesuaikan dengan kebutuhan pasar. "Nah, ini di Indonesia ada sekitar 30 persen dari 87 bank yang strateginya jelas, sisanya ragu-ragu dan kurang jelas," ucapnya.
Dia berujar teknologi adalah peluang besar bagi perbankan untuk bisa terus maju. Dulu hubungan dengan konsumer bisa dijaga dengan baik. Namun saat ini mau tidak mau perbankan mesti membuat segmentasi yang lebih personal.
"Karena perilaku orang kaya dan milenial berbeda, kita harus lebih mendalami secara personal. Kalau orang yang datang ke cabang, orang itu seharusnya tahu bahwa kita sudah tahu kebutuhannya dia," tutur Suwingyo.
Suwignyo berujar sekarang orang sudah makin sedikit yang ke kantor cabang bank. Berdasarkan data dari BCA, pada 1990 nasabah masih tercatat 100 persen ke kantor cabang untuk bertransaksi.
Berdasarkan data September 2017, orang yang transaksi ke cabang merosot menjadi hanya 3 persen. "Sepuluh tahun lalu, transaksi yang terjadi hanya 5-6 juta, sekarang mencapai 18-20 juta proses transaksi tapi yang datang ke bank hanya 3 persen."
Begitu pula pengunjung anjungan tunai mandiri (ATM), yang merosot menjadi hanya 33 persen saja. Nasabah, kata Suwignyo, memilih Internet banking dan m-banking yang dinilai lebih cepat.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengatakan beberapa tantangan yang mesti dihadapi industri perbankan di tahun-tahun yang akan datang antara lain persaingan yang ketat sehingga menurunkan keuntungan perusahaan serta regulasi yang semakin ketat. "Tantangan lain adalah risiko pemburukan kredit dan kehadiran layanan digital," tuturnya. Adapun layanan yang bakal bersaing ketat dengan fintech antara lain consumer banking dan pembayaran.