TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan menyatakan pemerintah daerah tidak mengelola keuangan dengan efektif dan efisien. Padahal kucuran dana untuk daerah terus meningkat dari tahun ke tahun.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo mengatakan transfer ke daerah tahun ini mencapai Rp 766 triliun atau melonjak bila dibandingkan saat peluncuran desentralisasi fiskal nilainya hanya Rp 81 triliun. "Angkanya naik lebih dari 10 kali lipat," kata dia dalam acara Budget Day di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu, 22 November 2017.
Baca: Semester I, BPK Temukan 14.997 Masalah Senilai Rp 27,39 Triliun
Belanja daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pun terhitung besar dengan total Rp 1.097 triliun tahun ini. Pada kurun waktu yang sama, angkanya naik hampir 12 kali lipat dari Rp 93 triliun. "Tapi kenaikan dari belanja dalam APBD dan transfer tidak diikuti dengan pengelolaan anggaran yang efektif dan efisien," tutur Boediarso.
Kementerian Keuangan mencatat beberapa indikator pengelolaan keuangan yang tidak efisien. Salah satunya belanja pegawai di pemerintah daerah yang jauh lebih besar dari porsi belanja modal. Total belanja pegawai mencapai 36,8 persen sementara belanja modal hanya 20 persen.
Boediarso juga menyoroti ketimpangan layanan publik antar daerah. Akses air bersih di Kota Balikpapan, misalnya, sudah mencapai 98 persen. Sementara di Kabupaten Mamberamo, Papua, akses air bersih baru 4 persen.
Ketimpangan di bidang kesehatan terjadi di Kabupaten Kupang, NTT dengan hanya 1,4 per 100 ribu orang yang dilayani tenaga kesehatan. Sementara di Kota Banda Aceh rasionya sudah 15 per 100 ribu. Di bidang pendidikan, Boediarso melihat ketimpangan partisipasi sekolah hingga SMA di Padangsidempuan yang mencapai 87 persen tetapi di Pegunungan Bintang, Papua hanya 7 persen.
Di bidang tata kelola keuangan daerah, Kementerian Keuangan menemukan paling tidak 7.950 temuan atas sistem pengendalian internal dengan 12.168 permasalahan. Dampak kerugian negara yang timbul berkisar antara Rp 2,15 triliun hingga Rp 2 triliun.
Boediarso mengatakan masih ada temuan yang lebih menyedihkan. "Ada 361 kepala daerah terlibat kasus korupsi di 542 daerah," ujarnya. Mereka terdiri dari 18 gubernur dan 343 bupati atau wali kota. Korupsi terbesar terjadi pada pelaksanaan dari pengadaan konstruksi bangunan.
Penyerapan anggaran pun belum optimal. Simpanan pemerintah daerah di bank semakin meningkat tiap tahun. Ditambah lagi realisasi belanja modal yang lambat. Dampaknya, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) semakin besar.
Terpisah, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Banten Provinsi Hudaya Laticonsina menyatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Banten 2018 direncanakan mencapai Rp 11,3 triliun atau naik sekitar Rp 1 triliun dari APBD 2017 yang mencapai Rp 10,4 triliun.
Sedangkan untuk pendapatan daerah ditarget mencapai Rp 10,365 triliun. Pendapatan itu terdiri dari pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 6,183 triliun, dan dana perimbangan dari pemerintah pusat sebesar Rp 4,1 triliun.
Dari nilai belanja Rp 11,3 triliun itu terbagi atas belanja tidak langsung Rp 6,8 triliun, dia merinci, antara lain belanja pegawai Rp 1,9 triliun dan belanja hibah Rp 2,1 triliun, bantuan sosial Rp 67 miliar termasuk program Jamsosratu (jaminan sosial rakyat Banten bersatu), bagi hasil kabupaten/kota Rp 2,2 triliun, dan biaya tak terduga Rp 35 miliar.
Untuk belanja langsung sebesar Rp 4,5 triliun, sedangkan untuk bantuan keuangan kabupaten/kota, dia merinci Kabupaten Pandeglang Rp 55 miliar, Kabupaten Lebak Rp 78,3 miliar. Kabupaten Tangerang Rp 70 miliar, Kabupaten Serang Rp 90 miliar, Kota Tangerang Rp 30 miliar, Kota Cilegon Rp 30 miliar, Kota Serang Rp 30 miliar, dan Kota Tangsel Rp 65 miliar.
Hudaya menyebutkan angka-angka tersebut naik cukup signifikan karena pada 2017 nilainya masih di kisaran Rp 3,5 triliun. "Kami meyakini, banyak belanja modalnya. Karena, terkait ruang kelas baru. Ada 540 ruang kelas baru,” katanya.
WASI’UL ULUM