TEMPO.CO, Jakarta - Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) mencatat tangkapan tuna Indonesia selalu di bawah kuota yang ditentukan. Disinyalir, minimnya hasil tangkapan itu diakibatkan oleh regulasi pemerintah, misalnya pelarangan transshipment atau alih muatan di tengah laut.
Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB), Arief Satria, mengatakan regulasi pemerintah itu memicu penurunan jumlah kapal yang beroperasi pada 2017.
Baca juga: Jokowi Puji Menteri Susi dalam Memerangi Illegal Fishing
"Kalau kita melihat data tahun 2017, kapal yang beroperasi menurun menjadi 276 kapal, padahal dulu sekitar 500 kapal. Regulasi KKP sedikit berdampak pada penurunan kapal," kata dia di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin, 20 Oktober 2017.
Pada 2015, nelayan Indonesia tercatat hanya bisa menangkap sekitar 593 ribu kilogram tuna dari kuota 750 kilogram. Dengan kuota yang sama, pada tahun 2016 Indonesia hanya bisa menangkap sekitar 600 ribu kilogram tuna.
Pada tahun ini kuota penangkapan tuna Indonesia mengalami peningkatan, namun hasil yang diperoleh malah menurun. Per 1 September 2017, tercatat tangkapan ikan tuna Indonesia hanya sekitar 288 ribu kilogram, dari kuota 899 ribu kilogram. Padahal, pada 2013 hasil tangkapan tuna Indonesia bisa mencapai 1,3 juta kilogram dan 1 juta kilogram pada 2014.
Arief mendorong pemerintah untuk membuat regulasi yang bisa menjadi jalan tengah dari permasalahan itu. Dengan begitu aturan tetap ditegakkan sembari terus mendorong pertumbuhan ekonomi.
Solusi yang dia tawarkan adalah penambahan kapal besar di sejumlah zona tangkap. Misalnya, penambahan kapal longline untuk memanfaatkan batas tangkap bigeye tuna di Samudera Pasifik bagian barat sebanyak 5.889 ton per tahun atau setara 15.704 GT kapal di laut lepas dan 13.565 GT kapal di Samudera Hindia untuk menangkap sekitar 37.858 ton ikan tuna per tahun.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Rifky Effendi Hardijanto mengatakan, pelarangan transshipment akan terus dilanjutkan. Apabila tidak dilarang, operasi itu rawan bocor. "Potensi bocornya pasti besar. Begitu bocor, yang menikmati hanya kalangan terbatas, sementara negara tidak memperoleh apa-apa."
Rifky menambahkan, penangkapan ikan di kawasan highseas memang menjadi permasalahan lantaran membutuhkan modal yang tinggi. "Sementara kebijakan kami lebih ke nelayan kecil," kata dia.
Dia menuturkan nantinya industri besar juga bakal difasilitasi namun tetap diatur. Sehingga investasi tumbuh namun tidak secara berlebihan dan tidak mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam Indonesia.
Ke depannya, dia berujar pemerintah masih akan lebih berfokus pada pengembangan kualitas nelayan kecil. Sementara kapal besar akan diserahkan kepada pihak swasta. "Prioritas kita nelayan kecil karena berdampak langsung kepada masyarakat."