Iklan
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2018 mencapai 5,3 persen.
"Ada beberapa hal positif yang dapat membuat pertumbuhan ekonomi 2018 lebih tinggi (dari 2017), yakni 5,3 persen, antara lain stabilitas harga komoditas, stabilitas rupiah, peningkatan investasi, capital inflows dan inflasi yang tetap rendah," kata Tony di Galeri Bursa Efek Indonesia Jakarta, Senin, 20 November 2017.
Menurut Tony pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari 5,3 persen belum memungkinkan, karena faktor volatility, uncertainty, complexity, Abiguity(VUCA) yang masih membayang dengan kuat pada 2018.
Meski pertumbuhan tersebut di bawah target pemerintah yang mematok pada 5,4 persen, menurut Tony, di kemudian hari pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 6 sampai 7 persen.
Hal tersebut bisa dipengaruhi karena giatnya pemerintah membangun infrastruktur yang dapat berdampak positif kelak. "Tidak sekarang," ujar Tony.
"Presiden Jokowi harus terus fokus di jalur pembangunan ekonomi infrastruktur untuk menaikkan daya saing, atau menurunkan ICOR(Incremental-Capital Output Ratio)," kata Tony.
Tony menilai belanja infrastruktur Rp 409 triliun dari anggaran total APBN Rp 2.200 triliun pada 2018 merupakan hal yang impresif.
Sedangkan menurut Toni inflasi yang rendah tidak selalu berkonotasi positif, karena bisa pula menunjukkan lesunya hasrat berbelanja.
"Cadangan devisa yang terus menguat bisa menjadi modal positif bagi stabilitas rupiah pada 2018," kata Tony.
Tahun ini Tony memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini pada kisaran 5 persen. "Perekonomian Indonesia masih tumbuh pada kisaran 5 persen karena kelesuan ekonomi sebagai dampak ketidakpastian, serta agresivitas pajak yang menyebabkan konsumen cenderung mengerem konsumsi," ujar Tony.
Iklan
