TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Rifky Effendi Hardijanto menyebutkan, selama ini, potensi perikanan, khususnya tuna, seharusnya bisa ditingkatkan. Salah satunya dengan memperbaiki cara penangkapan, handling setelah ditangkap, dan mobilisasi ke pelabuhan.
"Ikan tuna di perairan Indonesia sebenarnya berkualitas baik," ujarnya di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin, 20 November 2017.
Data Direktorat Sumber Daya Ikan dan riset perikanan menyebutkan nilai tuna yang dihasilkan di Indonesia masih bisa naik 2,5 kali lipat. Hal itu bisa dicapai apabila penangkapan ikan, yang selama ini didominasi ikan tuna grade III, bisa ditingkatkan menjadi grade I.
Untuk memperoleh kualitas tuna grade I, kata Rifky, penangkapan, penanganan, dan mobilisasi ikan mesti dilakukan dengan hati-hati. Sebab, wawasan dan kemampuan nelayan mengenai tersebut menjadi hal vital. "Jadi, dengan tonase yang sama, apabila nelayan diberikan pelatihan yang proper, itu akan memberi tambahan pendapatan bagi mereka," ucapnya.
Selain memberikan pelatihan, Rifky mengatakan sistem logistik juga menjadi kunci terjaminnya kualitas tuna sampai ke pasar. Infrastruktur rantai dingin, kata dia, juga mesti disiapkan untuk bisa menjamin kualitas tuna yang ditangkap tidak menurun lantaran es mencair.
Dengan bisa menjual ikan kelas wahid, dia mengatakan eksploitasi berlebihan juga bisa dikurangi lantaran orientasinya bergeser dari volume ke kualitas. Saat ini, golongan tuna terbagi dalam tiga kelas, yakni grade I, grade II, dan grade III. Tuna grade I dibanderol Rp 50 ribu per kilogram, grade II Rp 35 ribu per kilogram, grade III Rp 20 ribu per kilogram.
Sebagai perbandingan, kata Rifky, kalau menangkap 200 kilogram grade III, nelayan bisa pulang dengan membawa kocek Rp 4 juta. Dengan volume dan tonase yang sama, apabila nelayan bisa menangkap grade I, mereka bisa membawa pulang Rp 10 juta. "Makanya ini mesti kita kejar daripada mengejar volume," tuturnya.
Berdasarkan laporan dari dua perusahaan pelat merah di bidang ini, Perindo dan Perinus, mencari ikan tuna cakalang saat ini sudah cukup sulit lantaran populasinya di perairan berkurang akibat eksploitasi berlebihan. "Padahal cakalang dalam MSY (maximum sustainable yield) masih ada gap yang masih lebar," katanya.
Kedua perusahaan itu, Rifky menambahkan, akhirnya belum dapat memenuhi janjinya kepada industri untuk memasok 3.000 ton ikan cakalang dalam sebulan. "Produksi mereka dalam sebulan masih di bawah 100 ton," ujarnya. Hal tersebutlah yang membuat Rifky meyakini penangkapan tuna memang perlu diatur. "Supaya bisa dinikmati dari generasi ke generasi," ucapnya.