INFO NASIONAL - Tempo Media Group bekerja sama dengan Indosat Ooredoo menyelenggarakan Digital Economic Briefing 2017, Kamis, 16 November 2017. Visi Indonesia menjadi digital nation pada 2020, 1000 startup dengan valuasi bisnis US$ 10 miliar, pertumbuhan 50 e-commerce per tahun dan nilai transaksi US$ 130 miliar menjadi target khusus pemerintah. Target ini tentu perlu usaha yang keras terutama dalam membangun ekosistem digital yang semakin baik.
“Saya percaya saat ini kita berada di masa krusial. Sebagai bangsa yang ingin keluar dari sekadar memiliki sumber daya alam dan perlambatan di sektor manufaktur, saat ini kita berada di arena digital,” kata Darmin Nasution, Menteri Koordinasi Perekonomian.
Baca Juga:
Darmin memandang digital tidak hanya dari sisi kecepatan saja tetapi juga kemampuan untuk beradaptasi dengannya. Tiga tahun terakhir, lanjut Darmin, penetrasi ekonomi digital mulai masuk dalam perekonomian nasional. “Perdagangan dan retail biasanya tumbuh 12,5 persen per tahun tapi tahun ini turun jadi 10,5 persen per tahun. Sedangkan retail melalui e-commerce tiga tahun terakhir tumbuh tiga puluh kali lipat,” kata Darmin saat menjadi pembicara kunci dalam perhelatan tersebut.
“Peningkatan kualitas jaringan dan infrastruktur digital serta pemerataan digital adalah kunci untuk mewujudkan visi digital nation yang dicanangkan pemerintah,” kata Joy Wahyudi, Presiden Direktur dan CEO Indosat Ooredoo.
Menurut Joy, pihaknya terus menjadi pelopor dalam membangkitkan visi digital melalui banyak kegiatan seperti IWIC (Indosat Wireless Innovation Contest) hingga inkubasi bisnis startup untuk membentuk ekosistem digital yang berkelanjutan. Sementara menurut Toriq Hadad, Presiden Direktur Tempo Media Grup, fenomena digitalisasi adalah keniscayaan yang harus dihadapi oleh semua industri. ”Lihat saja bagaimana Alibaba dalam semalam bisa membukukan penjualan seperenam dari APBN kita,” kata Toriq. Ini artinya, siap atau tidak, Indonesia juga akan terkena gelombang digitalisasi di semua aspek kehidupan.
Baca Juga:
Dalam ajang ini, ada dua sesi diskusi. Pada diskusi pertama target menjadi digital nation salah satunya menciptakan unicorn startup baru. Unicorn adalah startup dengan valuasi lebih dari US$ 1 miliar. “Kami mendorong terciptanya Unicorn baru dengan enam rangkaian tahapan mulai ignitation, workshop, hackathon, bootcamp, hingga incubation,” kata Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika.
Menurut Chief RA, panggilan akrab Rudiantara, perlu perubahan pemikiran dan berpaling dari zona nyaman agar entrepreneur digital itu bisa berkembang pesat. “Kami siapkan sarana untuk startup bertemu dengan venture capital dari berbagai negara,” ucapnya.
Triawan Munaf, Kepala Badan Ekonomi Kreatif, mengatakan bahwa pihaknya mendukung terciptanya ekosistem pada aplikasi digital dan ekonomi kreatif lainnya. “Bekraf mengadakan developer day di 15 kota yang menjaring 11 ribu peserta. Ada 1300 produk digital yang dihasilkan,” katanya.
Ekosistem, menurut Triawan, menjadi sangat penting karena di sinilah kemampuan perusahaan rintisan dapat berjuang untuk menjadi besar. Ia mencontohkan bagaimana sekarang industri film nasional sudah beranjak naik. Karena, di gedung bioskop Indonesia, 40 persen film yang diputar adalah film nasional. “Return bagi investornya juga menarik bisa sampai 14 persen,” kata Triawan. Meski investor startup digital masih berkutat di angka return investasi tujuh persen tetapi dengan skala yang besar, industri aplikasi digital bisa tumbuh luar biasa.
Sedangkan pada sesi kedua, Rektor UPH (Universitas Pelita Harapan) sekaligus mantan Dirut Indosat era 1990-an, Jonathan L Parapak, menyoroti mengenai kesiapan sumber daya manusia terutama untuk menjadi entrepreneur. “Ini salah satu pekerjaan besar bagi kita termasuk ketika gelombang digital menerpa kita saat ini,” tambahnya. Perlu dukungan dari semua pihak agar talenta muda yang dihasilkan dapat berperan di industri baru ini.
Pembicara lain, Achmad Zaky, founder Bukalapak –kini sudah menjadi Unicorn baru- pihaknya kesulitan mendapatkan talenta baru. “Saya bahkan berani bilang kita darurat talent, karena akhirnya harus berpaling ke negara lain,” katanya.
Padahal dengan potensi yang demikian besar, seharusnya revolusi gelombang keempat yang dihasilkan dari dunia digital bisa membawa Indonesia melangkah jauh lebih maju. Bahkan kalau perlu diarahkan dari pendidikan dasar untuk menjadi seorang programmer sehingga 15-20 tahun mendatang talenta yang memiliki kemampuan programming semakin melimpah. “Di saat itu Indonesia bisa memanfaatkan gelombang keempat revolusi dunia, bukan jadi penonton saja,” tambah Zaky.
Gelombang revolusi industri keempat dengan kemajuan digital ini, kata Zaky, harus dimaknai sebagai kesempatan besar bagi Indonesia terutama dengan bonus demografis yang ada. Masyarakat Indonesia harus jadi pemain, jangan hanya jadi penonton seperti gelombang industri sebelumnya. Bila ini terjadi, target pemerintah dengan digital nation 2020 bisa dengan mudah tercapai. (*)