INFO NASIONAL—Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dalam kunjungannya ke Bonn, Jerman, mengatakan menghadapi tantangan perubahan iklim dan ketahanan pangan, diperlukan strategi pemanfaatan lahan yang optimal, dalam bentuk pengelolaan lanskap multifungsi, khususnya pada lahan-lahan terdegradasi. “Inilah langkah yang diambil oleh Indonesia dalam rangka mensukseskan program Perhutanan Sosial,” ujarnya saat menghadiri High Level Roundtables-Sustainable Agriculture “Multifunction Landscape for Improved Food Security and Nutrition”, pada forum COP 23 UNFCCC, di Bonn, Jerman, 14 November 2017.
Konsentrasi dari sisi lanskap terkait dengan perhutanan sosial, Siti melanjutkan, yaitu dengan mengatur tata kelola untuk keperluan produksi, khususnya pada lahan terdegradasi, dan disisi lain menawarkan produksi pertanian, serta harus tetap menjaga kelestarian.
Baca Juga:
Menurut Menteri Siti, lanskap sebetulnya memiliki faktor pembentuk yang bervariasi, antara lain nilai hayati dan nonhayati. Ada lingkungan fisik dan lingkungan manusia, maka sentralnya ada di manusia. “Kuncinya adalah penerapan pola-pola tradisional dan kearifan lokal dalam Perhutanan Sosial,” katanya.
Siti melanjutkan bahwa, dalam kaitan penanganan hutan terdegradasi, maka didorong produksi melalui kerjasama swasta dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam bentuk kemitraan, yang dikontrol Kementerian LHK dan Kementerian Pertanian. “Maka KPH harus kuat, dan tingkat tapaknya terjaga,” ucap Siti.
Selain itu, Program Kampung Iklim juga kembali disampaikan Siti Nurbaya, sebagai salah satu program pendukung aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia, yang patut dibanggakan. “Kita punya program kampung iklim di Indonesia, dan sudah banyak terbentuk di Indonesia, sekitar 2.000 desa”, tuturnya bangga.
Baca Juga:
Sementara itu, menanggapi pertanyaan dari forum terkait langkah-langkah yang ditempuh Indonesia dalam implementasi pengelolaan lanskap di Indonesia, Siti menjelaskan beberapa tahapan, antara lain yaitu mendorong kesadaran publik dan merubah gaya perilaku masyarakat, peningkatan kerjasama tingkat nasional dengan sub nasional, khususnya pemerintah daerah, karena dengan adanya desentralisasi, diperlukan usaha yang kuat untuk pengaturan ulang tata kelola pemerintahan, terutama dalam bidang perijinan, alokasi lahan dan sebagainya.
“Kami (Indonesia) juga sangat ketat dalam penerbitan perijinan, pada mulanya perijinan berjalan seperti umumnya dan lemah pengendalian, saat ini perijinan menjadi alat pengendalian dalam pelaksanaan kegiatan perijinannya,” katanya.
Ditambahkan Siti, bahwa upaya penegakan hukum terhadap pelaksanaan perijinan juga sangat penting, “Ada tiga tahap penegakan hukum, pertama yaitu adminitrasi, kedua privat atau bisnis, dan ketiga kriminal. Sementara itu kami (Indonesia) juga mengembangkan insentif untuk kepatuhan.”
Selama ini kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu penyebab deforestasi lahan gambut, sehingga Siti Nurbaya menyampaikan, Indonesia terus meningkatkan kesadaran para pengelola kawasan dan hutan untuk menjaga kawasannya dari ancaman karhutla, serta bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam mengelola Kesatuan Pengelolaan Hutan di tingkat tapak.
Dalam kesempatan ini, Menteri Siti kembali menekankan bahwa program Perhutanan Sosial akan didukung penuh oleh pemerintah, karena terkait dengan keberadaan masyarakat adat. “Idenya adalah, dengan Perhutanan Sosial, maka masyarakat akan mendapat manfaat dari hutan jika dapat mengelola hutan dengan baik,” ujar Siti.
Sedangkan dalam pengendalian perencanaan tata guna lahan, Menteri Siti menjelaskan, bahwa akan dilakukan pengawasan. “Dan kami juga ketat dalam operasionalnya, jika tidak produktif, ijin kita ambil, namun yang terpenting adalah kita bekerjasama dengan masyarakat,” tegas Siti.
Pernyataan Menteri Siti juga mendapat respon yang positif dari forum ini, sehingga semua sepakat bahwa dalam pengelolaan lanskap, tidak hanya terbatas pada pengelolaan dan integrasi lanskap saja, melainkan pentingnya pengelolaan terhadap unsur manusia itu sendiri. (*)