TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkapkan saat ini ada perusahaan asal Cina yang tengah berdiskusi dengan PT Pertamina dalam proyek Kilang BBM Bontang. Jonan menyebut pihaknya memberikan dukungan terhadap kerja sama di bidang pengolahan.
Adapun, Kilang BBM Bontang merupakan proyek Kilang baru dengan kapasitas 300 ribu barel per hari. Kilang BBM Bontang akan dibangun beserta kompleks petrokimia yang ditargetkan selesai pada 2024 dari target awal 2023.
"Juga di bidang refinery atau pengolahan minyak kami juga mendukung ada kerja sama yang baik. Pada saat ini yang kami tahu sebuah perusahaan Cina sedang diskusikan kerja sama dengan Pertamina grass root refinery di Bontang," ujarnya saat memberikan sambutan dalam acara The 5th Indonesia-China Energy Forum, Senin, 13 November 2017.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII Syaikul Islam mengatakan perhitungan ekonomi proyek Kilang BBM Bontang dan Tuban dinilai kurang menarik. Dia menilai Kilang BBM Bontang memiliki internal rate return (IRR) atau tingkat pengembalian modal yang rendah.
Baca: 9 Perusahaan Swasta Tertarik Ikut Bangun Kilang Bontang
"Komisi VII sudah pernah meninjau dua lokasi kilang tersebut. Secara kesiapan sangat bagus, bahkan untuk Kilang BBM Bontang insfrastruktur pendukung sudah ada karena menggunakan milik PT. Badak. Tapi hitungan keekonomiaannya kelihatan kurang menarik," katanya pada Sabtu, 20 Mei 2017 lalu.
Dia menjelaskan, rendahnya IRR bisa jadi diakibatkan karena kilang tersebut hanya difokuskan untuk bahan bakar minyak. Menurutnya, jika terintegrasi dengan petrochemical bisa sangat menarik dan berpotensial secara bisnis. "Saya pikir, dua mitra Pertamina dalam pembangunan dua kilang tersebut [Kilang BBM Bontang dan Tuban] berfikir ulang atau berubah fikiran," katanya.
Untuk mengatasi masalah ini, Syaikul berpendapat, pemerintah dan pihak terkait dapat menyusun ulang desain pembangunan kilang BBM. Jika yang menjadi kendala adalah masalah dana, bisa diatasi dengan menarik investor dari luar negeri. "Harus dilihat persoalannya dulu. Kemarin, waktu Raja Salman ke Indonesia, kenapa tidak jadi investasi ke Pertamina? Tapi justru milih Petronas, itu harus jadi pelajaran," ungkapnya.