TEMPO.CO, Jakarta -Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) menjadi US$ 49,53 per barel atau di atas asumsi APBNP US$ 46 per barel, belum akan berdampak terhadap kenaikan komoditas dan gairah di sektor ril. Alasannya, kenaikan harga minyak bersifat sementara karena dipengaruhi turunnya suplai dunia.
"Kenaikan ini belum mempengaruhi apa-apa. Sebab, kenaikan minyak mentah bukan karena permintaannya yang meningkat," kata Lana saat dihubungi Tempo di Jakarta, Jumat, 12 November 2017.
Jadi, kata Lana, lonjakan harga minyak karena turunnya suplai akan berbeda dampaknya jika naik karena demand atau permintaan dunia. Menurut Lana lagi, turunnya suplai minyak dunia karena adanya konflik di Arab Saudi, sebagai salah satu negara yang menghasilkan minyak
Kata Lana, ada konflik internal di kerajaan Arab Saudi, yang menyebabkan beberapa pangeran ditahan karena terbukti melakukan korupsi. Nah, hal ini menimbulkan spekulasi dan ketegangan politik di Arab, yang mendorong harga minyak mentah di dunia juga ikut naik.
Selain itu, ada suplai beberapa produsen minyak dunia sendiri juga ikut diturunkan. Jadi, turunnya suplai tersebut perlu dilihat sebagai satu faktor yang menyebabkan harga minyak naik. "Ingat ini bukan karena demand, tapi karena suplai turun," ucapnya.
Lebih jauh ia menuturkan jika permintaan naik, maka akan berimbas pada demand dunia atau ekonomi dunia bahkan juga akan bergairah. Kenaikan permintaan sifatnya akan lebih permanen terhadap kenaikan komoditas lainnya, dibandingkan karena turunnya suplai minyak dunia.
"Sekarang kenaikan harga minyak mentah memang diikuti kenaikan harga komoditas lainnya seperti tembaga. Tapi ini akan bersifat temporer karena disebabkan turunnya suplai dunia," ujarnya.
Lana menuturkan harga batubara yang naik saat ini bukan disebabkan karena kenaikan harga minyak dunia. Menurut dia, kenaikan harga batubara karena pemerintah Cina menahan dan mengontrol komoditas tersebut.
Hal itu terjadi, kata Lana, karena perusahaan batubara di Cina banyak mempunyai utang di bank. Sehingga, kalau harga batubara tidak dikontrol oleh pemerintah Cina, maka akan banyak perusahaan batubara Cina yang gagal bayar utang di bank.
"Buat pemerintah Cina untuk membiayai Bank lebih mahal daripada mengontrol harga batubara dunia," ucapnya.
Jadi, kenaikan batubara dunia memang telah terjadi sejak akhir tahun 2016, sebelum kenaikan harga minyak mentah. Harga batubara kini telah mencapai hampir US$ 100 per ton. "Biasanya kan minyak mentah dulu naik, baru disusul batubara dan komoditas lainnya," ucapnya.
Nah, jadi, kata Lana, kenaikan minyak dunia ini hanya sementara saja terjadi karena turunnya suplai. "Batubara baik karena ada hal itu. Sekarang CPO juga tidak naik," ujarnya.
Namun, kenaikan harga minyak mentah ini memang berpotensi kepada lonjakan harga bahan bakar minyak non subsidi yang telah kelihatan peningkatan harganya. Sedangkan, untuk BBM non subsidi memang masih dipertahankan agar tidak naik.
Menurut dia, kalau BBM subsidi tidak dinaikan bisa mengendalikan inflasi. "Namun, kenaikan harga minyak ini tidak akan mempengaruhi gairah sektor ril," katanya.
Lana menambahkan kebaikan harga minyak ini akan berkontribusi kepada penerimaan negara yang pada September lalu sudah mencapai 63 persen dari target Rp 1.738 triliun. Alasannya, kenaikan ini akan berimbas pada royalti atau penerimaan negara bukan pajak karena bagi hasil minyak.
"Kalau di penerimaan negara akan berpengaruh. Kalau kenaikan di sektor ril, komoditas dan perusahaan belum tentu ikut berpengaruh," ucapnya.