TEMPO.CO, Jakarta - Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana bertemu dengan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan untuk membahas Paradise Papers. Paradise Papers merupakan pembocoran dokumen rahasia skala besar yang berasal dari firma hukum Appleby dan Asiaciti Trust.
Anggota Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno, menuturkan pertemuan itu penting karena berkaitan dengan Undang-Undang Pengampunan Pajak serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Perpajakan. Pasalnya, sejumlah nama warga negara Indonesia tercatat memiliki perusahaan cangkang di negara-negara suaka pajak (tax haven countries) dalam dokumen keuangan itu.
Baca: Paradise Papers: Rahasia Kelam Miliarder Global
Kepemilikan perusahaan cangkang di tax havens sering ditengarai dipakai untuk menyembunyikan kekayaan para jutawan dan perusahaan multinasional. Hendrawan menyebutkan Direktur Jenderal Pajak perlu menjelaskan upaya pemerintah dalam mengolah informasi tersebut. "Kami akan menanyakan lebih detail," kata dia di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu, 11 November 2017.
Pertemuan dengan Dirjen Pajak rencananya digelar setelah masa sidang ketiga tahun ini dimulai, yaitu pada 15 November 2017. Hendrawan mengatakan tanggal pasti pertemuan itu belum ditentukan.
Pemerintah sebelumnya telah menyatakan akan memantau dokumen Paradise Papers. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan memanfaatkan jaringan internasional untuk menelusurinya.
Paradise Papers, alias Panama Papers jilid dua ini, berbentuk data digital sebesar 1,4 terabytes. Di dalamnya terdapat 13,4 juta dokumen.
International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), gabungan wartawan investigasi dari seluruh dunia, menyelidiki dokumen tersebut. Salah satu temuannya adalah kaitan penyandang dana utama Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau serta perusahaan investasi pribadi milik Ratu Elizabeth II dari Inggris.
Total ada 120 politikus dari seluruh dunia yang namanya tersangkut dalam dokumen ini. Politikus Indonesia yang namanya tertera dalam dokumen itu, antara lain Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Trikasih Lembong.
Prabowo, melalui Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon, membantah punya kaitan dengan perusahaan offshore di luar negeri, Nusantara Energy. "Pak Prabowo tidak ada di perusahaan itu," ujarnya pada pekan lalu.
Sedangkan Sandiaga Uno mengakui pernah memiliki saham di perusahaan offshore lain yang tercatat dalam Paradise Papers, N.T.I. Resources. "Itu bukan perusahaan cangkang, melainkan sudah go public di bursa saham Kanada," ucapnya. Dia memastikan sudah tidak lagi terkait dengan perusahaan eksplorasi minyak dan gas itu.
Saat ditanya tentang legalitas praktik tersebut, Thomas Lembong memilih diam. Thomas hanya memberikan anggapan bahwa praktik penanaman investasi private equity di negara-negara suaka pajak (tax havens) merupakan hal wajar. "Sebanyak 99 persen dari investasi private equity itu melalui entitas di yurisdiksi-yurisdiksi seperti Cayman Islands," katanya di kantor BKPM, Jakarta, 6 November 2017.