TEMPO.CO, Jakarta -Presiden Direktur PT Rimo Internasional Lestari Tbk Teddy Tjokrosaputro menjelaskan penyebab anjloknya harga saham emiten berkode RIMO ini. Menurut Teddy, hal itu terjadi karena mekanisme pasar dan adanya panic selling.
"Ini (saham turun) memang karena mekanisme pasar dan panic selling," kata Teddy saat menggelar paparan publik ihwal anloknya harga Saham RIMO di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat, 10 November 2017.
Perdagangan saham RIMO pada 7 November kemarin, dihentikan sementara oleh Bursa Efek Indonesia karena harganya terjun bebas dari Rp 450 menjadi Rp 192 per saham. Hal ini terjadi sejak awal November.
Pada Oktober lalu, saham RIMO sempat menduduki peringkat tertinggi mencapai Rp 660 per lembar. Pada 8 November kembali penjualan saham kembali dibuka, tetapi disuspensi lagi sehari setelahnya. "Kami juga masih menunggu informasi BEI kapan akan dibuka kembali," ucapnya.
Ia menuturkan memang ada keterlambatan penyampaian laporan keuangan per 30 September 2017, namun baru bisa disampaikan pada 9 November 2017 ke BEI. Hal itu karena ada 17 laporan keuangan peruahaan di bawah RIMO yang harus dikonsolidasikan ke dalam laporan keuangan perseoran. "Yang menyebabkan menghambat karena faktor administrasi dan teknis saja atas laporan per 30 September 2017," ujarnya.
Teddy mengatakan fundamental perusahaan masih cukup sehat. "Kami mencatat hingga September tahun ini telah memperoleh laba Rp 100 miliar," ujarnya.
Perusahaan juga menganggarkan Rp 200-300 miliar untuk belanja modal tahun depan. RIMO juga akan mempertahankan bisnis properti. "Kami optimistis pada bisnis properti, meski diperkirakan sampai tahun depan masih slow down," ujarnya.
RIMO telah mengakuisisi hotel sebagai salah satu strategi perseroan untuk memperoleh pendapatan berkelanjutan dan diharapkan akan memberikan tambahan kontribusi sekitar Rp 10-15 miliar per tahun. "Kami beralih dari ritel ke properti karena lebih menggiurkan keuntungannya."