TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Property Watch (IPW) menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Kalla yang telah berjalan tiga tahun belum berhasil merealisasikan program sejuta rumah. Bahkan, IPW melihat ada langkah mudur yang dilakukan pemerintah dalam merealisasikan program tersebut.
CEO IPW Ali Tranghada mengatakan dari hasil survei yang dilakukan pihaknya ada peningkatan permintaan perumahan bersubsidi. Namun hal ini justru berbanding terbalik jika melihat realisasi penyaluran Kredit Perumahan Rakyat (KPR) melaui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
FLPP, kata Ali, justru anjlok hampir 73 persen. "Menjadi hanya sebesar 8.969 unit per Agustus 2017," kata Ali lewat pernyataan tertulis yang diterima Tempo di Jakarta, Jumat, 3 November 2017. Padahal, dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 33.347 unit.
Baca: Sisa Dua Tahun Pemerintahan Jokowi, PUPR Kebut Sejuta Rumah
Menurut Ali, kondisi ini harusnya menjadi perhatian penuh pemerintah untuk dapat mengevaluasi dan memperbaiki penyaluran KPR subsidi dengan FLPP atau dengan Subsidi Selisih Bunga (SSB). Selain itu, pemerintah daerah juga diharapkan untuk dapat membantu penyediaan rumah sederhana bagi masyarakat.
Pasalnya, kata Ali, seharusnya masing-masing pemda dapat mengetahui siapa saja yang layak untuk diberikan fasilitas subsidi untuk memeroleh rumah. "Dari RT/RW, kelurahan, sampai kecamatan dapat mendata siapa saja yang benar-benar membutuhkan untuk kemudian dikonversi menjadi kebutuhan lahan yang harus disediakan di daerahnya."
Selain itu, seharusnya pendataan backlog rumah dapat dilakukan secara sistematis mulai tingkat RT sampai kecamatan bahkan sampai provinsi sehingga pemerintah dapat memeroleh gambaran yang jelas mengenai seberapa besar kapasitas rumah yang harus disediakan di masing-masing wilayah. Dengan data yang ada, maka masing-masing Pemda dapat melakukan perhitungan kebutuhan lahan yang dibutuhkan. "Terkait hal tersebut maka peran tata ruang menjadi sangat penting."
Lebih jauh Ali mengatakan Pemda juga harus segera memetakan lahan yang masih memungkinkan untuk dikembangkan rumah sederhana. Alasannya, tanpa ada kejelasan tata ruang yang khusus diperuntukan untuk rumah sederhana, maka jaminan ketersediaan rumah sederhana menjadi terancam. "Mengapa harus ada peruntukan khusus rumah sederhana? Karena saat ini tidak ada tanah yang dapat dijamin pertumbuhan harganya dan mengikuti mekanisme pasar," ucapnya.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono sebelumnya mengatakan pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah untuk menyediakan 11,6 juta rumah untuk penduduknya. "Backlog kita (untuk membangun rumah murah) masih 11,6 juta," kata Basuki pertengahan Agustus lalu.
Basuki menuturkan pembangunan pertama Transit Oriented Development di Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan, merupakan bagian dari program sejuta rumah yang diinisiasi Presiden Joko Widodo atau Jokowi. TOD adalah pengembangan permukiman yang mengintegrasikan kemudahan untuk mengakses transportasi untuk warga.
Rumah tersebut diperuntukkan bagi warga yang berpenghasilan rendah sekitar Rp 4-7 juta, agar mempunyai rumah susun sederhana milik (Rusunami). "Nanti dijualnya di bawah Rp 200 juta," ujarnya. "Walaupun rumit pembangunannya, tapi harus tetap berkualitas dan ini menjadi tantangan (pemerintah)."