TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut berpendapat soal fenomena turunnya daya beli yang berujung pada penutupan sejumlah bisnis ritel di Indonesia. Pria yang akrab disapa JK itu beranggapan bahwa belum ditemukan penyebab yang definitif atas masalah itu.
"Apakah benar daya beli kita turun? Saya rasa semua punya analisinya sendiri," ujar JK saat menjadi pembicara dalam diskusi Prospek Ekonomi Indonesia 2018 di Jakarta, Selasa, 2 November 2017.
Baca: Sektor Ritel Ambruk, 1.200 Pegawai Dipecat
Sebagaimana beberapa kali diberitakan, banyak yang menduga tutupnya sejumlah perusahaan ritel di Indonesia dikarenakan melemahnya daya beli masyarakat. Melemah atau melambatnya daya beli bisa dilihat dari indikator konsumsi rumah tangga.
Menurut Badan Pusat Statistik, konsumsi rumah tangga pada triwulan II 2017 tumbuh 4,95 persen. Angka itu, secara tahunan, lebih lambat dibandingkan triwulan II 2016 yang tumbuh 5,02 persen.
Pelambatan pertumbuhan konsumsi terjadi pada semua komponen dengan penurunan yang cukup signifikan pada komponen non makanan dan minuman. Pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman melambat dari 5,26 persen pada triwulan II 2016 menjadi 5,24 persen pada triwulan II 2017, sedangkan komponen non makanan dan minuman turun dari 4,96 persen menjadi 4,77 persen.
Baca juga: Retail Tutup Gerai, Mendag: Ada Perubahan Perilaku ...
JK mengatakan banyak yang beranggapan bahwa penurunan daya beli itu karena pergeseran transaksi dari langsung (dari toko ritel) menjadi via online (e-commerce). Tapi, menurut JK, bisa jadi penurunan itu karena berbagai faktor sekaligus, bukan karena hanya karena pergeseran ke online saja.
Banyak bisnis ritel tutup, menurut JK, bisa jadi karena pergeseran pola konsumsi masyarakat yang sekarang mulai mengurangi makan di luar dan lebih memilih makan di rumah. "Dulu, makan siang di restoran, sekarang turun. Belanja dibatasi, investasi menunggu pemerintahan yang stabil juga," ujar JK.