TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan target penerimaan pajak pada 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun terlalu tinggi. "Bukan salah pajaknya, targetnya ketinggian," kata dia saat ditemui di Plaza Mandiri, Jakarta, Senin, 30 Oktober 2017.
Menurut Faisal, penerimaan pajak terus berkurang setelah beberapa tahun lalu pernah mencapai 96 persen, bahkan pernah 107 persen pada puncak boom commodity. "Namun dua tahun pemerintahan Jokowi melorot menjadi 82 persen. Dan di 2016, realisasi tanpa tax amnesti hanya 74 persen, mungkin terendah sepanjang sejarah," ujarnya.
Baca juga: Penerimaan Pajak Seret, Ini Jurus-Jurus Sri Mulyani
Faisal mengatakan pajak yang paling mudah adalah pajak perdagangan internasional, karena titiknya jelas di Bea dan Cukai. Ia mengatakan ekspor dan impor Indonesia juga turun terhadap produk domestik bruto.
"Dan kita satu-satunya negara yang turun. Ekspor turun dari 29 persen ke 19 persen, impor 24 persen ke 18 persen. Itu terjadi sudah lama dalam 16 tahun terakhir secara konsisten," ucapnya.
Menurut dia, jumlah orang yang bekerja saat ini semakin banyak yang informal yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak atau NPWP.
"Mengingat 70 persen rakyat Indonesia extreme poor, moderate poor, dan vulnerable yang hampir pasti tidak punya NPWP. Kelas menengah dan yang secara ekonomi secure hanya 30 persen. Itu yang feasible dipajakin," tuturnya.
Ia melihat pertumbuhan agak unik, tapi ambisi belanja menggebu. "Semua basisnya turun belanjanya menggebu. Menggebu itu oke. Tahun 2014, infrastruktur naik kenceng, karena ada sumber yang dialihkan dari subsidi BBM. Tapi cuma setahun aja, 2016 sudah tidak ada lagi," katanya.
Menurut Faisal, jika dilihat dari hal tersebut, basisnya harus dari pajak. "Jadi tidak sepenuhnya salah pajak. Tapi ambisinya terlalu menggebu," kata dia.
Ia melanjutkan, saat ini database perpajakan masih lemah. "Unfortunately lingkungan perpajakan juga sedang buruk. Ingin mendorong spending berbasis pajak, tapi lingkungan strategisnya sedang buruk," ujarnya.
Faisal menilai pertumbuhan sedang mengalami perlambatan dari 8 persen, 7 persen, 6 persen, dan sekarang 5 persen. Menurut dia, tax ratio sebetulnya tidak boleh berubah, tapi penerimaan pajak relatif turun padahal seharusnya digenjot.
"Kemudian kita lihat potensi-potensi yang masuk lewat sistem keuangan juga masih lemah. Perbankan hanya menyalurkan kredit 46,7 persen PDB," katanya.
Faisal Basri membandingkan dengan negara-negara lain yang sudah mendekati 200 persen, sedangkan Indonesia masih 40-an persen. "Mudah-mudahan dengan fintech bisa naik mendekati kondisi sebelum krisis 60 persen," ujarnya.
Pada tahun anggaran 2018, pemerintah mentargetkan penerimaan pajak 2018 dipatok Rp 1.609,4 triliun atau tumbuh 9,3 persen dari target APBN 2017.