TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, mengatakan, dibandingkan dengan serbuan bisnis online, pergeseran jenis konsumsi masih menjadi tekanan terbesar pada bisnis sektor retail saat ini. "Ada pergeseran jenis konsumsi masyarakat, jadi bukan lagi belanja baju," kata dia kepada Tempo, Sabtu, 28 Oktober 2017.
Masyarakat, kata dia, lebih senang membelanjakan uangnya untuk leisure, misalnya melancong atau kuliner. Lana menyoroti travel fair yang selalu dipadati pengunjung setiap diselenggarakan. Bahkan, sampai ada yang rela menggunakan jasa joki demi mendapatkan tiket murah untuk pelesiran.
Ditambah lagi, Lana mengatakan usaha jualan pakaian kini semakin ketat lantaran masyarakat memiliki banyak pilihan, dari yang buatan industri rumahan, sampai yang bermerek asing. "Komoditas yang substitusinya banyak tentu bakal tertekan," kata dia. "Kalau kayak toko elektronik masih terlihat stabil meski ada potensi tergerus online tapi kita masih suka menikmati beli elektronik langsung."
Menurut Lana, kini bisnis pakaian di Indonesia semakin mengandalkan momen-momen tertentu, misalnya Idul Fitri, maupun Natal. "Bisnis baju kalau bukan Lebaran dan Natal biasanya enggak banyak yang cari, kecuali lagi diskon."
Dia melihat fenomena bakal tutupnya Lotus Department Store dan Debenhams merupakan imbas dari pergeseran jenis konsumsi itu. Berbeda dengan tutupnya gerai 7Eleven beberapa waktu lalu, menurut Lana, disebabkan kesalahan strategi bisnis lantaran ekspansi terlalu cepat, tutupnya dua retail penjualan pakaian itu dinilai sudah memasang strategi yang cukup tepat.
"Kayak Debenhams, pemilihan lokasi sudah tepat di Senayan City, sesuai dengan sasarannya, yaitu kelas menengah atas. Tapi memang perubahan di konsumsi rumah tangga berpengaruh," ujarnya.
Memang, Lana mengatakan banyak pihak yang akhirnya mengambinghitamkan bisnis online atas gulung tikarnya sejumlah bisnis retail. Namun, menurut dia, e-commerce belum sepenuhnya bisa menggantikan gerai konvensional.
Dia lantas merujuk pada data 2016 mengenai jumlah transaksi bisnis online, yaitu hanya sebesar US$ 5,6 miliar atau sekitar 2 persen saja dari total transaksi tahun itu. "Jadi memang ada substitusi, tapi bukan sepenuhnya penurunan di retail itu karena beralih ke online," kata dia.
Selain dua faktor itu, Lana menyebutkan ada kontribusi rendahnya daya beli dalam kelesuan pasar retail.
Selanjutnya, menurut dia, untuk bisa bertahan dari gempuran faktor-faktor itu, mau tidak mau efisiensi menjadi pilihan. "Untuk survival retail harus melakukan efisiensi, meski akhirnya harus kurangi jumlah pekerja. Jadi serba salah," kata dia. Ke depannya, dia melihat toko retail bisa bertahan dengan mengurangi jumlah pekerja dan menggantinya dengan sejumlah fasilitas elektronik. "Mungkin nanti tidak ada lagi kasir, namun serba elektronik."
CAESAR AKBAR