TEMPO.CO, Jakarta - Kelesuan yang melanda sektor ritel Indonesia membuat pengelola mal dan peritel bekerja keras mengatur berbagai strategi untuk menarik pengunjung. Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Stefanus Ridwan, menuturkan strategi utama bagi pengelola mal dan peritel adalah dengan melakukan perubahan atau penyegaran konsep agar lebih menarik bagi konsumen.
"Yang tidak berubah, tidak beriklan, produknya itu-itu saja, makin lama akan makin kalah saing," ujarnya pada Jumat, 22 September 2017.
Baca: Sejumlah Mal di Jakarta Sepi Pengunjung, Apa Sebabnya?
Hal ini tidak hanya berlaku bagi tenant yang menjual produk fesyen dan sebagainya, tetapi juga restoran. Rasa makanan yang enak tidak lagi cukup untuk mendatangkan konsumen. "Harus ada experience yang dirasakan pengunjung dan ada sesuatu yang bisa mereka ceritakan ke orang lain termasuk lewat penggunaan media sosial," ungkap Stefanus.
Proses adaptasi makin cepat dilakukan seiring dengan makin cepatnya perkembangan pasar. Jika sebelumnya tenant mal baru mengganti desain atau konsep gerai tiap 5 tahun, maka sekarang perubahan desain setidaknya dilakukan tiap 2 tahun atau malah lebih cepat lagi. Namun, perubahan konsep harus dilakukan sesuai dengan target pasar yang dituju oleh pusat perbelanjaan tersebut.
Baca: Alasan AEON Tertarik Buka Pusat Perbelanjaan di Indonesia
Penerapan sistem omni-channel, di mana tenant dan pengelola mal mengawinkan konsep offline dan online, juga dinilai penting karena lebih interaktif bagi konsumen. Penyelenggaraan program promo pun bisa membuat pengunjung tetap datang. Selain diskon, bentuknya bisa berupa undian berhadiah. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang erat dengan para tenant untuk menggelar kegiatan yang menarik dan interaktif.
Jika ada tenant yang terus merugi tapi tidak mau beradaptasi, Stefanus menyatakan pengelola mal pun tidak bisa membantu dan bisa saja kontraknya diputuskan berakhir.