Keluarga yang tinggal di gerobak atau disebut manusia gerobakterlihat ceria saat menunggu pergantian tahun di pinggir Jalan Margonda, Depok, Rabu malam, 31 Desember 2014. Kemiskinan masih menjadi salah satu permasalahan yang masih belum dapat diatasi hingga saat ini. Tempo/Ilham Tirta.
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom World Bank, Vivi Alatas, mengatakan ketimpangan ekonomi di Indonesia dapat diatasi dengan mengacu pada tiga pilar utama. Ketiga pilar itu adalah kesempatan yang sama, pekerjaan yang layak, dan perlindungan dari guncangan.
Menurut Vivi, kesempatan yang sama wajib diberikan kepada setiap masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, masyarakat Indonesia masih dihadapkan dengan ketimpangan akses untuk mendapatkan ketiga pilar tersebut.
Ia mencontohkan anak-anak yang terlahir di keluarga miskin. Mereka kesulitan menikmati kesempatan bersekolah. "Kalaupun ada fasilitasnya, kualitas yang mereka dapatkan jauh berbeda," kata Vivi dalam diskusi mengenai Harga Ketimpangan Ekonomi di Gedung Tempo, Jakarta, Kamis, 4 Mei 2017.
Dampaknya, anak tersebut akan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak karena tingkat pendidikan yang rendah. Mereka kemudian rentan terhadap guncangan.
Vivi mengatakan masyarakat dengan pendapatan tinggi juga mampu meminimalkan efek guncangan. "Entah dengan asuransi, tabungan, atau pesangon." Sedangkan masyarakat miskin tidak memiliki akses tersebut. Vivi menambahkan, mereka bahkan terpaksa menggunakan "granat" dengan mengurangi nutrisi anak atau putus sekolah.
Vivi mengatakan aturan pemerintah masih belum cukup membantu masyarakat mendapatkan akses ketiga pilar tersebut. "Semua harus hadir," katanya. Menurut dia, swasta, komunitas, dan media perlu membantu membuka akses.
Pemerintah dapat lebih berfokus dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang tinggi didorong oleh pengeluaran yang tepat. "Instrumen fiskal bisa menjadi instrumen andal," Vivi berujar.
Instrumen lain adalah dana desa. Dana tersebut masih belum efektif karena masalah sinergi aksi. Vivi mengatakan sinergi antar-pemerintah daerah sering kali tak terjadi. Belum lagi, alokasi dana desa yang masih hanya difokuskan di daerah terpencil. Padahal di daerah yang padat penduduk di dekat pusat pemerintahan pun masih memiliki banyak orang miskin.
Vivi menambahkan, komunitas bisa mengambil peran mendorong perilaku kunci untuk keluar dari masyarakat. Salah satu perilaku kunci itu adalah imunisasi. Ia mencatat hanya 50 persen anak dari keluarga miskin yang mendapatkan imunisasi. Salah satu alasannya adalah karena keluarga tak tahu bagaimana mendapatkan akses tersebut. "Komunitas bisa mendorong perilaku kunci tadi lewat media sosial," ucapnya.