TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) lebih menguntungkan bagi PT Freeport Indonesia dibanding kontrak karya (KK).
Fahmy mengatakan Freeport bisa mendapat izin ekspor konsentrat sebelum selesai membangun smelter dengan berubah ke IUPK. Freeport juga mendapat kepastian perpanjangan selama sepuluh tahun.
"Bahkan masih bisa diperpanjang lagi sampai dua kali sepuluh tahun sehingga totalnya bisa mencapai 30 tahun," katanya dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu, 25 Februari 2017.
Namun Freeport justru menolak perubahan dari KK ke IUPK sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara (minerba). Perusahaan asal Amerika itu menilai IUPK tidak memberikan kepastian hukum dan fiskal bagi perusahaan.
Freeport sebelumnya telah menyatakan bersedia berubah ke IUPK tapi dengan beberapa syarat. Pemerintah bersedia bernegosiasi. Freeport bahkan telah mendapat rekomendasi izin ekspor konsentrat. Namun keduanya tidak mencapai kata sepakat. Freeport menyatakan akan mempertahankan KK.
Fahmy mengatakan KK justru lebih menguntungkan pemerintah Indonesia. KK wajib mengolah dan memurnikan mineral mentah di smelter dalam negeri sehingga ada nilai tambah bagi negara.
Keuntungan lainnya adalah pemerintah bisa mengambil alih pengoperasian tambang Freeport saat KK berakhir pada 2021. "Hanya sisa empat tahun lagi," kata Fahmy.
Ia mengatakan pengambilalihan tambang tidak memiliki konsekuensi hukum maupun biaya. Sesuai perjanjian KK, tambang harus diserahkan kembali kepada pemerintah jika kontrak telah usai.
Setelah diambil alih, Fahmy mengatakan pengelolaan tambang Freeport bisa diserahkan kepada konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertambangan. "Dengan dikelola BUMN, tambang bisa dimanfaatkan sebesar-sebesarnya bagi kemakmuran rakyat," katanya.