Petani memikul daun tembakau yang dipanen di Desa Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 6 Juni 2016. Dalam panen raya ini, petani mendapat untung tinggi dengan harga jual yang meroket. TEMPO/Prima Mulia
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan wacana kenaikan harga rokok tidak akan mengancam tenaga kerja industri rokok dan petani tembakau.
"Kurang relevan mengaitkan dampak kenaikan harga rokok dengan nasib petani dan tenaga kerja. Ancaman terhadap petani dan pekerja bukan pada harga rokok yang tinggi," ucap Tulus melalui pesan singkat di Jakarta, Senin, 22 Agustus 2016.
Tulus berujar, nasib petani tembakau lokal selama ini terpinggirkan oleh tembakau impor. Kebutuhan bahan baku produksi rokok nasional saat ini 60 persen dipenuhi oleh tembakau impor.
Menurut Tulus, tembakau impor yang menyebabkan tembakau lokal milik petani tidak terserap pasar. Apalagi selama ini petani tembakau memiliki nilai tawar yang rendah bila berhadapan dengan industri.
"Nasib buruh industri tembakau juga sama saja. Hak-haknya selama ini dilanggar oleh industri karena mayoritas dari mereka masih buruh kontrak dan alih daya. Pemutusan hubungan kerja dilakukan karena industri melakukan mekanisasi, mengganti buruh manusia dengan mesin," ucapnya.
Dengan melakukan mekanisasi, industri berupaya melakukan efisiensi untuk mendapat keuntungan yang lebih banyak, karena satu mesin bisa menggantikan 900 orang buruh.
"Jadi musuh petani dan buruh rokok itu bukan harga rokok dan kenaikan tarif cukai, melainkan industri rokok sendiri," ujarnya.
Tulus menuturkan desakan agar harga rokok dinaikkan minimal Rp 50 ribu per bungkus terus menguat. Kenaikan harga itu akan berdampak positif bagi masyarakat serta negara karena akan mengurangi jumlah perokok dan beban kesehatan yang harus ditanggung.