Komponen yang manakah yang masih lemah itu? Tentang ini pengamat otomotif Soehari Sargo dan Ketua Gaikindo Herman Latif memberikan gambaran yang cukup jelas. Andaikan struktur industri otomotif digambarkan sebagai piramida, ujung paling atas dan penting serta menjadi penggerak dari yang lain adalah industri utama. Industri utama inilah pembuat tiga produk pokok dari setiap jenis mobil. Pertama, platform, rangka dasar untuk meletakkan roda, kemudi, bodi, dan exel. Kedua, power train, inti dari mesin mobil seperti engine dan transmisi. Ketiga, body Shell.
Di bawah industri utama di dalam gambaran piramida adalah industri komponen khusus. Misalnya, piston, karburator, transmisi. Salah satu sifat yang membatasi industri komponen khusus adalah, ia hanya bisa berproduksi dengan spesifikasi sesuai permintaan industri utama. Dengan kata lain, biasanya setiap merk mempunyai pabrik komponen khusus sendiri, yang produknya hanya untuk mendukung industri utamanya.
Meski, di Indonesia pernah dicoba diproduksi komponen khusus yang bersifat lintas merk. Yaitu ketika Mitsubishi (Krama Yudha Tuga Berlian) bekerja sama dengan Suzuki (Indomobil), yang antara lain menghasilkan Suzuki Futura. Jenis ini diproduksi dengan mesin Mitsubishi dan bodi Suzuki. Menimbulkan pertanyaan, kenapa merk-merk lain tak mencobanya juga.
Di bawah itu adalah industri komponen umum (universal). Sesuai dengan namanya, komponen yang dihasilkan oleh industri ini bisa digunakan di semua merek. Misalnya saja ban, atau kabel. Struktur yang paling bawah adalah industri bahan baku, seperti baja, juga keramik.
Di Jepang, Amerika, atau Korea Selatan, sebuah industri utama rata-rata bisa memenuhi kebutuhan pembuatan mobil sampai 33%. Sebabnya antara lain, industri utama itu sama dengan industri otomotifnya.
Tapi di Indonesia, para ATPM pada mulanya sepenuhnya hanya berperan sebagai agen penjualan. Sekarang, persisnya sejak ATPM juga didorong untuk menjadi produsen, ATPM pun tak bisa menjadi produsen secara utuh. Sebab ATPM kemudian mendirikan perusahaan yang khusus untuk merakit (assembler. Astra International misalnya, mendirikan Toyota Astra Motor, dan Krama Yudha mendirikan Krama Yudha Kusuma Motor sebagai pabrik perakitannya. Sedangkan untuk membuat komponennya, Astra mendirikan Multi Astra dan Toyota Engine.
Dengan struktur seperti ini masing-masing perusahaan, meskipun di dalam payung grup yang sama, mempunyai keterbatasan untuk bertanggung jawab dalam mengembangkan sebuah industri yang utuh. Jadi ATPM hanya menjadi semacam koordinator produksi, yang tugasnya mencari komponen (dari impor, atau dibeli dari produsen domestik, atau memproduksi sendiri) untuk diserahkan kepada perakit, dan kemudian menyalurkannya kepada distributor setelah menjadi kendaraan.
Jadi, kata Herman Latif, ketua Gaikindo itu, tak ada satu lembaga yang bertanggung jawab untuk mengembangkan teknologi rekayasa. Tentang berapa kemampuan setiap ATPM memenuhi sendiri kebutuhan komponennya, terutama komponen khusus, pengamat otomotif Sargo berani mengatakan "masih sangat kecil, bahkan masih ada yang nol."
Dengan kerangka yang berbeda ini maka agak sulit menilai semaju apakah industri kita sekarang. Tapi kalau pemilahan yang dibuat Sargo bisa dipakai --menilai dari dua sisi: sisi teknologi rekayasa dan sisi produksi (manufacturing) -- paling tidak ada satu sisi yang tak terlalu mengecewakan, yaitu sisi produksi.
Satu-satunya penilaian yang komprehensif tentang ini dibuat pada tahun 1985 ketika Bank Dunia mensponsori studi tentang industrialisasi di Indonesia (otomotif hanya salah satu bagian). Menurut Sargo, kalau skala penilaiannya berkisar antara 1 sampai 10, pada waktu itu sisi produksi sudah diberi nilai 7. Yang mengecilkan hati adalah sisi rekayasa, waktu itu hanya dinilai 2. Bagaimana perkembangannya sekarang? "Kalaupun bergeser hanya sedikit sekali," kata Sargo.
Tampaknya, yang akan dilakukan PT Timor Putra Nasional adalah menjadi industri utama ini. Artinya, ia juga akan membuat sendiri platform, power train, dan body shell-nya. Karena semua merek mobil mempunyai spesifikasi sendiri untuk komponen khusus (atau komponen internalnya), itu berarti PT Timor juga harus mengembangkan sendiri industri komponen khusus, karena mobil Timor memang mempunyai spesifikasi sendiri.
Soehari Sargo menafsirkan Inpres 2/1996 memberikan dasar hukum yang memungkinkan Timor untuk menempuh cara pelaksanaan industri tanpa membelah dirinya menjadi perusahaan-perusahaan yang terpisah seperti yang selama ini dilakukan ATPM tadi. Jadi, pembuatan komponen, assembling, dan manufacturing dilakukan di bawah satu atap PT Timor tadi Jika itu berjalan, Sargo menilai Timor akan lebih efisien karena tidak perlu banyak birokrasi perusahaan dan tak perlu mengeluarkan pajak untuk banyak perusahaan.
Hanya saja, dari sisi manajemen dan penguasaan teknologi, kemampuan PT Timor pantas diragukan. Itu dikatakan oleh peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi, UI, Sri Mulyani Indrawati.
Sebetulnya bukan cuma dalam soal komponen khusus kita ketinggalan. Dalam hal komponen umum dan industri bahan baku pun begitu. Menurut Herman Latif, dewasa ini industri komponen umum kita baru bisa memenuhi 7 sampai 12% kebutuhan industri mobil sedan. Artinya, sebesar itu pulalah komponen umum dan industri bahan baku yang bisa diharapkan untuk memasok kebutuhan mobil Timor.
Tentang mengapa industri penunjang otomoti juga terlambat, ceritanya memang panjang. Awalnya, adalah pilihan kebijakan itu sendiri yang membolehkan pengusaha hanya menjadi agen penjualan mobil buatan luar negeri. Akibatnya mereka tak berpikir untuk menjadi produsen. Yang penting, dagangannya laku dan mendapat untung besar. Setelah ada keinginan untuk mengembangkan industri pun, yaitu pada akhir 1970-an, yang dipilih masih substitusi impor. Konsekuensinya, pengembangan industri pendukung kurang mendapat perhatian.
Pada kenyataannya, sampai sebelum tahun 1993, industri komponen mobil masih masuk daftar negatif investasi. Menurut Herman Latif, kalaupun ada izin investasi untuk suatu komponen, itu pun hanya satu. Tak ada izin kedua. Baru setelah deregulasi Juni 1993 pintunya dibuka. Tapi, industri yang ada sudah terlanjur tak kompetitif.
Alasan lain yang dipandang lebih penting oleh para anggota Gaikindo adalah volume pasar. Pasar yang kecil tak memungkinkan investor berani. Menurut Herman Latief, sebuah merek baru akan impas mengembangkan industri komponen inti sendiri kalau volume produksi atau volume pasarnya minimal mencapai 50 ribu unit per tahun. Soehari Sargo malah menunjuk angka yang lebih tinggi lagi. Katanya, untuk bisa mengembangkan industri mobil yang kuat paling tidak harus ada pasar yang mampu menyerap 200 ribu unit. Untuk perbandingan, seluruh penjualan mobil di Indonesia dalam tahun lalu baru mencapai 380 ribu unit, dari semua merek.
Kebijakan pemerintah, itikad pengusaha, dan pasar rupanya menjadi kuncinya. []
(Suwardi)